05 Februari 2011

MODAL SOSIAL DALAM KERANGKA PARADIGMA TERPADU

OLEH : RIFQI K. ANAM
Modal sosial dapat digolongkan pada realitas mikro-obyektif dan makro-subyektif. Realitas mikro-obyektif berupa kesatuan obyektif berskala kecil seperti kepercayaan dan jaringan yang juga mempengaruhi sistem secara keseluruhan, kepercayaan muncul ketika terdapat harapan antara dua pihak atau lebih akan keuntungan salah satu pihak atau kedua belah pihak melalui interaksi sosial sehingga muncul rasa saling percaya, unilateralisme dalam kepercayaan menekankan bahwa kehadiran pihak lain pada dasarnya ada dan diketahui, kalau begitu kepercayaan menjadi hal yang penting dalam sebuah system dimana unilateralisme dalam kepercayaan itu fungsional tidak saja bagi optimisme individu, melainkan juga bagi kerjasama system yang mapu menyederhanakan kerumitan (reduction of complexity). Dalam realitas perusahaan kepercayaan dibuktikan dengan adanya cara berpikir positif terhadap karyawan lain yang menyebabkan arus penyebaran informasi lebih baik, dengan adanya kepercayaan menjadikan setiap karyawan merasa mendapat jaminan dalam beride/bergagasan dan tidak menjadi takut idenya akan dibajak karyawan lain karna telah ada kesaling percayaan yang mengakar kuat dalam diri setiap karyawan atas karyawan lain.
Jaringan yang terdapat pada karyawan didasarkan dari kepercayaan yang mengakar kuat antar sesama karyawan dan dipertahankan oleh norma yang ada. Jaringan memiliki fungsi informatif atau jaringan informasi yang memungkinkan setiap elemen yang terdapat jaringan tersebut dapat mengetahui segala informasi informasi yang berhubungan dengan masalah atau peluang atau apapun yang berkaitan dengan perusahaan. Melalui jaringan menjadikan karyawan dalam jaringan dapat saling tahu, saling menginformasikan, saling mengingatkan, saling bantu dalam melaksanakan atau mengatasi suatu masalah. Jaringan dapat meningkatkan efisiensi tindakan. Misalnya, jaringan hubungan sosial, meningkatkan efisiensi penyebaran informasi dengan mengurangi keterulangan (redundancy) dimana antar karyawan saling memperlancar penyebaran informasi.
Realitas makro-subyektif berupa fenomena sosial berskala luas dan berada di dalam alam ide dan dalam pengetahuan seperti fenomena non-material berskala luas seperti norma dan nilai dimana fenomena ini tidak dapat dirasakan secara materiil tetapi ikut mempengaruhi sistem secara keseluruhan. Norma itu dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka. Norma ini muncul ketika terjadi pertukaran sosial dimana setelah beberapa prinsip pertukaran dianggap saling menguntungkan muncullah norma dalam bentuk kewajiban social, yang intinya membuat kedua belah pihak diuntungkan dengan pertukaran tersebut. memiliki norma tersebut dibuktikan dengan adanya norma saling menghormati serta menjaga privasi kerja antar karyawan yang menjadikan setiap karyawan memiliki rasa menghormati antar karyawan sehingga tercipta suasana kerja yang nyaman.

BIAS GENDER PADA MASYARAKAT

 OLEH : RIFQI K. ANAM
     Teringat waktu semester 3, saat mengikuti salah satu perkuliahan dengan judul sosiologi pedesaan membuat pikiranku melayang pada hari ketika seorang teman sekelas mempresentasikan mengenai kondisi sebuah desa yang kaum pria-nya berkuasa hampir total atas kaum wanita ini menjadi suatu induksi kondisi masyarakat bahwa saat ini masyarakat sehingga seringkali menimbulkan berbagai penafsiran dan tanggapan yang sering kurang tepat tentang gender. Pemahaman mengenai gender menjadi sesuatu yang sangat penting artinya bagi semua kalangan, baik dalam pemerintahan, swasta, masyarakat maupun keluarga. Melalui pemahaman yang benar mengenai gender diharapkan secara bertahap diskriminasi perlakuan terhadap perempuan dapat diperkecil sehingga perempuan dapat memanfaatkan kesempatan dan peluang yang diberikan untuk berperan lebih besar dalam berbagai aspek kehidupan. Seringkali gender disamaartikan dengan seks, yaitu jenis kelamin laki-laki dan perempuan, sex sendiri berarti pembedaan jenis kelamin berdasarkan faktor – faktor biologis hormonal dan patologis sehingga muncul dikotomi laki – laki dan perempuan dimana ini berlaku secara universal dan tidak bisa dipertukarkan. Kodrat diartikan sebagai sifat bawaan biologis sebagai anugrah tugas yang mahaesa menyang yang tidak dapat berubah sepanjang masa dan tidak dapat ditukarkan yang melekat pada pria dan wanita.
     Pada masyarakat pedesaan yang masih buta gender meningkatkan diskriminasi gender yang ada. Pada masyarakat konsep gender tergantung budaya masyarakat tersebut tinggal sehingga gender bisa berubah – ubah berdasarkan pemahaman yang dalam masyarakat sehingga membentuk suatu konsep yang mutlak mengenai gender. Jadi konsep gender meliputi sifat dan perilaku yang melekat pada laki – laki dan perempuan yang dikontruksikan secara sosial maupun kultural. Perbedaan gender tersebut tergantung budaya dimana manusia tinggal sehingga mempengaruhi perilaku yang dilakukan oleh masyarakatnya dalam setiap sendi kehidupannya dan membuat perbedaan dalam pembagian kerja yaitu adanya pembagian kerja secara seksual.
Pemahaman konsep gender yang dimiliki oleh kaum perempuan di masyarakat desa bahwa manusia laki – laki adalah manusia yang tidak punya kesalahan dimata wanita, wanita menafsirkan bahwa laki – laki ditakdirkan menjadi pemimpin di muka bumi dan wanita hanya menjadi orang yang menemani laki – laki. Dari apa yang terjadi di dusun tersebut menyebabkan paham patriarki yang terus meningkat di masyarakat.
     Yang menjadi pokok permasalahan adalah masyarakat yang salah menginterpretasikan gender dalam konteks agama dimana memang secara kodrati ada pembedaan tetapi yang menjadi permasalahan kontruksi sosial di masyarakat. Karena masyarakat dusun badut terkontrusi bahwa laki – laki adalah makhluk yang superior dan wanita adalah makhluk yang lemah. Pemahaman gender yang keliru tersebut juga menyebabkan perempuan di daerah tersebut menerima apa saja yang terjadi pada kaum perempuan. Wanita hanya mampu bekerja di sektor domestik dikarenakan paham fatalistik, perempuan menganggap cukuplah menjadi ibu rumah tangga dan bukan persoalan rigid mengenai pendidikan karena pada akhirnya menuju dapur juga.
     Pandangan ini berpengaruh penting ketika kita membicarakan mengapa bias gender tradisional suka berubah. Ini merupakan ciri pokok masyarakat terorganisir sepanjang garis patriarkal di mana ada ketidaksetaraan (unequal) hubungan gender antara laki-laki dan perempuan. Menolak ketidakadilan gender (gender inequalities) merupakan sesuatu yang sangat mengancam karena berarti menolak seluruh struktur sosial; dan kini kita akan menelaah sebagian aspek dan dan sistem ini serta melihat bagaimana strukturnya, yang memberi hak-hak istimewa kepada laki-laki dengan mengorbankan perempuan : menjunjung tinggi perbedaan gender (gender differnces)
     Sebenarnya tidak ada lingkungan budaya yang membatasi definisi sosial gender atas adanya perbedaan biologis antar jenis kelamin. Namun karena dalam setiap budaya ada fungsi-fungsi universal yang harus dilaksanakan seperti mengasuh anak, mencari nafkah, mengambil keputusan, mengisi peran sebagai pemimpin, maka ada peran-peran sosial yang kemudian dikaitkan pada gender tertentu. Meskipun hal ini tidak berarti bahwa ada fungsi tertentu yang harus dilakukan oleh perempuan atau laki-laki, tetapi kalau suatu peran sudah dikaitkan dengan salah satu gender maka peran tersebut diberi makna simbolis tertentu. Kemauan politik pemerintah untuk mewujudkan kemitrasejajaran yang pada dasarnya merupakan sarana untuk kesetaraan hubungan gender masih perlu didukung oleh program-program dan tindakan nyata.
     Karena itu agar ketidakadilan sosial yang ada dalam masyarakat dapat berkurang maka diperlukan kesadaran kepada pembuat kebijakan agar dapat membuat kebijakan yang memberi kesetaraan terhadap perempuan dalam pembangunan atau women in development.