04 Februari 2011

DOMINASI MODAL ATAS RUANG PUBLIK

Awalnya ruang publik sebagai bentuk demokrasi dari perkembangan masyarakat barat untuk menuju perubahan structural dalam dunia public yang secara historis terbentuk pada abad ke-18, lewat perkembangan masyarakat borjuis. Peran raja dan kaum ningrat pada abad pertengahan mendapat tekanan dari banyak pihak untuk menyelenggarakan sebuah ruang untuk saling membarikan informasi berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Dalam perkembangannya ada orang yang memiliki kekuasaan atau kedudukan yang mulai mempengaruhi kebebasan publik untuk menyampaikan informasi kepada pihak lain.
Konsep ruang public muncul dalam karya ”The Structural Transformation of the Public Sphere” oleh Jurgan Habermas. Habermas menuliskan subtansinya bahwa ruang publik merupakan media untuk mengomunikasikan informasi dan juga pandangan. Sebagaimana yang tergambarkan di Inggris dan Prancis, masyarakat bertemu, ngobrol, berdiskusi tentang buku baru yang terbit atau karya seni yang baru diciptakan. Dalam keadaan masyarakat bertemu dan berdebat akan sesuatu secara kritis maka akan terbentuk apa yang disebut dengan masyarakat madani. Secara sederhana masyarakat berkeadaban bisa dipahami sebagai masyarakat yang berbagi minat, tujuan, dan nilai tanpa paksaan—yang dalam teori dipertentangkan dengan konsep negara yang bersifat memaksa.
Pada perkembangan selanjutnya ruang publik juga menyangkut ruang yang tidak saja bersifat fisik, seperti lapangan, warung-warung kopi dan salon, tetapi juga ruang di mana proses komunikasi bisa berlangsung. Misal dari ruang publik yang tidak bersifat fisik ini adalah media massa. Habermas juga sangat menekankan peran kritis dari media didalam ruang publik. Ia membedakan antara media dimasa-masa awal yang memusatkan diri pada berbagai isu kontroversi dan debat politik rasional, dan media dewasa ini yang seringkali menjadikan berita sebagai barang dagangan saja. Kontroversi semakin berkurang didalam media dewasa ini. Media tidak lagi mengambil posisi dan berargumentasi atas posisinya, melainkan menghindar, karena menurut mereka, semakin mereka mengambil jarak, semakin berita itu akan mengandung kebenaran.
 Ruang publik yang dicita-citakan oleh habermas mungkin belum terwujud, bisa kita lihat media yang ada sekarang, jangankan menjadi sarana ruang publik yang komprehensif malahan media melakukan proses reifikasi terhadap berita-berita yang mereka tayangkan, yakni menjadikan media sebagai ruang iklan, dimana politisi dapat menjual ide-ide mereka untuk dibeli oleh rakyat. Dominasi modal dalam ruang publik terasa ketika masa kampanye dalam pemilihan umum dimana politisi yang mempunyai sokongan modal besar akan dapat membeli media sedangkan politisi jujur tapi “miskin” hanya menjadi figuran. Konsekuensinya, politisi jujur yang tidak sering tampil di media serta secara aktif “menjual” ide-idenya di televisi akan cepat kehilangan pamornya, seberapapun jenius ide-ide yang dikembangkannya. Politisi yang tidak bisa menjadi selebriti media akan mendapatkan nasib yang sama. Dengan demikian, berbagai debat publik di televisi ataupun di koran tidak akan membawa pada perubahan karena yang ditawarkan hanyalah seolah-olah ruang public sehingga menciptakan ilusi koleksif dari partisipasi kritis public yang akhirannya partisipasi tanpa perubahan.  


Daftar Pustaka
Hardiman, Francisco Budi,. 2009. Menuju Mayarakat Komunikatif, ilmu, masyarakat, politik dan postmodernismo menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta. Kanisus.

MENGENAL PEMIKIRAN PIERRE BOURDIEU

OLEH : RIFQI K. ANAM


Arah Pemikiran
Seperti kebanyakan pemikir teori kritis maupun Neo-Marxis, Bourdieu sekaligus sebagai ahli teori dan aktivis sosial-politik. Ritzer menyatakan Bourdieu sebagai pemikir post-strukturalis (Ritzer (terjemah),2008: 57). Kajian pertama Bordeau adalah filsafat, kemudian beralih ke kajian sosiologi didorong keprihatinan mendasarnya terhadap lingkungan sosial dan hasrat atas perubahan.
Sosiologi Bordeau tidak murni bersifat empiris, tetapi masuk pada wilayah teks. Ia menyatakan agar teks tidak kering, teks harus menjadi tindakan. Mengutip Touraine, Bordeau berbicara tentang gerakan sosial. Fenomena ini terjadi bila tindakan konfliktual berusaha mengubah hubungan dominasi sosial yang ada dalam sumber daya budaya yang utama seperti: produksi, pengetahuan dan norma-norma etika (Haryatmoko, Basis, No.11-12, Tahun 52, November-Desember 2003).

Beberapa Pemikiran Penting
Dalam menjelaskan fenomena sosial beberapa konsep penting digunakan oleh Bordeau, yakni habitus, ranah dan beragam modal. Habitus merupakan kerangka penafsiran untuk memahami dan menilai realitas sekaligus penghasil praktik-praktik kehidupan sesuai dengan struktur-struktur objektif. Dihubungkan dengan kelas sosial, habitus merupakan pengkondisian yang berkaitan dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas (Haryatmoko, Basis, No.11-12, Tahun 52, November-Desember 2003). Dalam habitus, suatu arena sosial yang didalamnya perjuangan atau manuver terjadi untuk memperebutkan sumber atau pertaruhan dan akses terbatas.
Arena adalah taruhan yang dipertaruhkan-benda kultural (gaya hidup), perumahan, kemajuan intelektual (pendidikan), pekerjaan, tanah, kekuasaan (politik), kelas sosial, prestise atau lainnya-dan mungkin berada pada tingkatan yang berbeda dengan spesifikasi dan derajat kekongkretan (Jenksin, Richard, 2010: 124).
Sementara itu, berbagai macam modal yang dinyatakan Bordeau, yakni modal ekonomi, modal sosial, modal budaya dan modal simbolik. Beberapa pengertian bisa dikatakan, sebagai berikut. Modal ekonomi, yaitu sarana produksi dan sarana finansial yang bisa dikonversikan menjadi modal-modal lain.
Sementara itu, modal budaya menunjuk pada, “ suatu bentuk pengetahuan, suatu kode internal atau suatu akusisi kognitif yang melengkapi agen sosial dengan empati terhadap, apresiasi terhadap, atau kompetensi di dalam, pemilah-milahan relasi-relasi dan artefak-artefak kultural”.
Dua bentuk kapital budaya, yakni: Pertama, kapital yang terintegrasi dalam diri, yakni hasil kerja pribadi dan akusisi tanpa disadari. Kedua, kapital budaya objektif, seluruh kekayaan budaya (buku, karya seni) bisa dimiliki secara material dalam pembedaan dengan kapital simbolis. Sifat dari kapital ini: terinstitusionalisir, menjadi anggota dari lembaga-lembaga tertentu (Haryatmoko, 2010: 17).
Sedangkan, modal sosial, berbagai jenis relasi bernilai dengan pihak lain bernilai atau “jaringan hubungan yang bekerja sebagai sumber daya untuk penentuan kedudukan sosial, akumulasi modal atau efektivitas tindakan.
Derajat akumulasi prestise, ketersohoran, konsekrasi atau kehormatan, dan dibangun atas dialektika pengetahuan dan pengenalan. Konsep ini bisa dikembangkan pada kekuasaan simbolis berdasarkan bentuk-bentuk modal yang tidak bisa direduksi dalam bentuk modal ekonomi (Johnson, Randal dalam Bourdieu (2010: xix). Jabatan, mobil mewah, kantor, prestise dan gengsi sosial, gelar, status tinggi, nama besar keluarga. Pada dasarnya bentuk pengakuan sosial oleh kelompok, baik secara institusional maupun informal merupakan sumber daya dalam posisi sosial, akumulasi modal atau efektivitas wacana dan tindakan (Haryatmoko, 2010: 18). Banyak sedikit modal sangat menentukan peneguhan dan peningkatan posisi pada arena itu.

Tentang Dominasi
Dalam arena akan ditentukan apakah hubungan-hubungan yang terstruktur akan tetap dipertahankan atau dirubah. Dalam semua masyarakat selalu ada yang menguasai dan dikuasai. Dominasi sangat bergantung dengan : situasi, kapital dan strategi pelaku (Haryatmoko, 2010: 17).
Dalam La Domination Masculine (1998), terjemahan (2010), Bourdieu menyatakan bahwa terdapat 3 lembaga prinsipil (Keluarga, Gereja dan Sekolah) yang melakukan kerja reproduksi. Gereja menanamkan secara eksplisit suatu moral yang familialis, yang sepenuhnya didominasi oleh nilai-nilai patriarkhal, terutama dengan dogma tentang inferioritas dasar perempuan. Ia bekerja lewat simbolika teks-teks sakral, liturgi dan ruang-waktu religius.
Sekolah menyampaikan presuposisi-presuposisi representasi patriarkhal (yang didasarkan homologi antara relasi laki-laki/perempuan dan relasi dewasa/anak-anak). Sekolah menyampaikan presuposisi-presuposisi yang tertera dalam struktur-struktur hirarkhinya sendiri. Hirarkhi-hirarkhi tersebut bermakna seksual (Bourdieu, 2010 b: 122).

DOMINASI MODAL ATAS RUANG PUBLIK

OLEH : RIFQI K. ANAM
Awalnya ruang publik sebagai bentuk demokrasi dari perkembangan masyarakat barat untuk menuju perubahan structural dalam dunia public yang secara historis terbentuk pada abad ke-18, lewat perkembangan masyarakat borjuis. Peran raja dan kaum ningrat pada abad pertengahan mendapat tekanan dari banyak pihak untuk menyelenggarakan sebuah ruang untuk saling membarikan informasi berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Dalam perkembangannya ada orang yang memiliki kekuasaan atau kedudukan yang mulai mempengaruhi kebebasan publik untuk menyampaikan informasi kepada pihak lain.
Konsep ruang public muncul dalam karya ”The Structural Transformation of the Public Sphere” oleh Jurgan Habermas. Habermas menuliskan subtansinya bahwa ruang publik merupakan media untuk mengomunikasikan informasi dan juga pandangan. Sebagaimana yang tergambarkan di Inggris dan Prancis, masyarakat bertemu, ngobrol, berdiskusi tentang buku baru yang terbit atau karya seni yang baru diciptakan. Dalam keadaan masyarakat bertemu dan berdebat akan sesuatu secara kritis maka akan terbentuk apa yang disebut dengan masyarakat madani. Secara sederhana masyarakat berkeadaban bisa dipahami sebagai masyarakat yang berbagi minat, tujuan, dan nilai tanpa paksaan—yang dalam teori dipertentangkan dengan konsep negara yang bersifat memaksa.
Pada perkembangan selanjutnya ruang publik juga menyangkut ruang yang tidak saja bersifat fisik, seperti lapangan, warung-warung kopi dan salon, tetapi juga ruang di mana proses komunikasi bisa berlangsung. Misal dari ruang publik yang tidak bersifat fisik ini adalah media massa. Habermas juga sangat menekankan peran kritis dari media didalam ruang publik. Ia membedakan antara media dimasa-masa awal yang memusatkan diri pada berbagai isu kontroversi dan debat politik rasional, dan media dewasa ini yang seringkali menjadikan berita sebagai barang dagangan saja. Kontroversi semakin berkurang didalam media dewasa ini. Media tidak lagi mengambil posisi dan berargumentasi atas posisinya, melainkan menghindar, karena menurut mereka, semakin mereka mengambil jarak, semakin berita itu akan mengandung kebenaran.
 Ruang publik yang dicita-citakan oleh habermas mungkin belum terwujud, bisa kita lihat media yang ada sekarang, jangankan menjadi sarana ruang publik yang komprehensif malahan media melakukan proses reifikasi terhadap berita-berita yang mereka tayangkan, yakni menjadikan media sebagai ruang iklan, dimana politisi dapat menjual ide-ide mereka untuk dibeli oleh rakyat. Dominasi modal dalam ruang publik terasa ketika masa kampanye dalam pemilihan umum dimana politisi yang mempunyai sokongan modal besar akan dapat membeli media sedangkan politisi jujur tapi “miskin” hanya menjadi figuran. Konsekuensinya, politisi jujur yang tidak sering tampil di media serta secara aktif “menjual” ide-idenya di televisi akan cepat kehilangan pamornya, seberapapun jenius ide-ide yang dikembangkannya. Politisi yang tidak bisa menjadi selebriti media akan mendapatkan nasib yang sama. Dengan demikian, berbagai debat publik di televisi ataupun di koran tidak akan membawa pada perubahan karena yang ditawarkan hanyalah seolah-olah ruang public sehingga menciptakan ilusi koleksif dari partisipasi kritis public yang akhirannya partisipasi tanpa perubahan.  


Daftar Pustaka
Hardiman, Francisco Budi,. 2009. Menuju Mayarakat Komunikatif, ilmu, masyarakat, politik dan postmodernismo menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta. Kanisus.


HERBERT SPENCER (THE SURVIVAL of THE FITTEST)

OLEH : RIFQI K. ANAM
Herbert Spencer (27 April 18208 Desember 1903) adalah seorang filsuf Inggris dan seorang pemikir teori liberal klasik terkemuka. Spencer lahir di Darby, Inggris 27 April 1820 Spencer berasal dari keluarga yang berlatar pendidikan ayahnya seorang guru.Inggris, semasa kecilnya dia sering sakit-sakitan, bahkan kedelapan saudaranya meninggal pada umur yang masih muda.
Pada awalnya Spencer tertarik pada ilmu pengetahuan alam, biologi, matematika, dan sejarah, lambat laun dia juga mempelajari sosial ekonomi. Hampir sebagian besar waktunya digunakan untuk kegiatan akademis dan dia juga terkena penyakit gangguan sukar tidur kronis yang membuat dia terus gelisah dan harus memakai sejumlah candu untuk mengobati. .
Spencer dalam hidupnya sukar diajak bergaul dan selalu menempatkan dirinya terhadap nilai-nilai budaya dalam masyarakat.selama periode ini spencer melanjutkan studi atas biaya sendiri dan mulai menerbitkan karya ilmiah dan politik.tahu 1948 Spencer ditunjuk sebagai redaktur the Economist dan gagasan intelektualnya mulai mantap.
Tahun 1950 ia menyelesaikan karya besar pertamanya, social statics. Selama menulis karya ini spencer untuk pertama kali mulai mengalami masalah insomnia (tak bisa tidur) dan dalam beberapa tahun berikutnay masalah mental dan fisiknya menjadi terus meningkat.ia menderita gangguan syaraf sepanjang hidupnya.
Tahun 1853 Spencer menerima harta warisan yang memungkinkannya berhenti bekerja dan menjalani sisa hidupnya sebagai seorang sarjana bebas.Ia tak pernah.Ia tak pernah memperoleh gelar kesarjanaan universitas atau memangku jabatan akademis.Dalam menulis karya-karya Spencer enggan membaca karya orang lain tetapi muncul secara intuitif dari pikiranya.Konsep evolusi Spencer ditulis dalam “ Principle of Psycologys” (1855) yang diperluas dalam “Its Law and Cause” (1857)
Spencer membaca salah satu buku mengenai seleksi alam yang ditulis Charles Darwin, Buku yang berjudul On the Origin of Species by Means of Natural Selection, or The Preservation of Favoured Races in the Struggle for Life (biasanya disingkat menjadi The Origin of Species) (1859) merupakan karyanya yang paling terkenal sampai sekarang. Buku ini menjelaskan evolusi melalui garis keturunan yang sama sebagai penjelasan ilmiah yang dominan mengenai keanekaragaman di dalam alam.
Teori Darwin tentang evolusi menyatakan bahwa semua species berhubungan satu sama lain dan mempunyai "common ancestor" (berasal dari satu garis keturunan) dan melalui mutasi species baru muncul. Ia menulis: "Manusia cenderung untuk bertambah dalam tingkat yang lebih besar daripada caranya untuk bertahan. Akibatnya, sesekali ia harus berjuang keras untuk bertahan, dan seleksi alam akan mempengaruhi apa yang terletak di dalam jangkauan ini." (Descent of Man, Ps.21)
Oleh karena itu Herber spencer menghubungkan seleksi alam dalam tataran organik ke tingkat social. Proposisi yang ditawarkan oleh Spencer adalah Teori Evolusi. Teori Evolusi menyebiutkan ”Perkembangan adalah suatu pengintegrasian dari benda,di mana selama pengintegrasian itu benda berpindah dari suatu persamaan (homogenitas) yang tak tertentu, yang tanpa gabungan, ke dalam suatu kenekaragaman (heterogenitas) tertentu, yang menampakkan hubungan dan dimana gerak yang menyertainya juga mengalami perubahan yang sama”(Haru hadiwijoyo,2005.115).
Teori evolusi spencer teridentifikasi pada dua jenis evolusi sosial terutama berkaitan dengan peningkatan ukuran (size) masyarakat. Masyarakat tumbuh melalui perkembangbiakan individu dan penyatuan kelompok-kelompok. Masyarakat tumbuh dalam kelompok dengan derajat yang bervariasi. Dan perluasan kelompok dan penggabungan kelompok yakni makin lama makin menyatukan kelompok-kelompok yang berdampingan.
Dalam bentuk sosial dan organik dalam unit yang paling primitif. Spencer berpendapat bahwa jenis masyarakat .Kita mungkin merupakan satu generasi yang jauh dari utopia, tetapi kita juga lebih jauh dari dari generasi barbaria.Tradisi,struktur pikir cara penggabungan ide-ide, bentuk pengembangan ide-ide, bentuk pengembangan perasaan dari insting seta kecenderungan turun temurun.
Perbedaan sosial yang dimulai dengan jelas pada pertama kalinya memperlihatkan ketika memperlihatkan efek dengan respek dari hal-hal luar yang utama dan lalu kondisi masyarakat internal. Jadi untuk contoh di awal tahap masyarakat adalah prajurit yang melasanakan aktivitas pertahanan dari perlawanan mewakili agen sosial dengan respon yang langsung pada kondisi ekstern. Pada saat yang sama buruh melaksanakan aktivitas internal dari subsistensi melayani atasan pertama kali lalu mereka sendiri. Sistem eksternal dan internal yang terdapat sistem distribusi, untuk dua kelas orisinil yaitu dalam kontak; waktu, industri dilokalisasi, dan sebagai alat transfer pemunculan yang barang-barang.
Teori evolusi mengenai etika dan politik, dikemukakan bahwa di satu sisi masyarakat berkembang menuju ke keadaan moral yang ideal atau sempurna. Di sisi lain ia menyatakan bahwa masyarakat yang paling mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannyalah yang akan bertahan hidup (survive), sedangkan masyarakat yang yang tak mampu menyesuaikan diri terpaksa menemui ajalnya.
Jadi, teori Spencer mengenai evolusi masyarakat mempunyai kesamaan dari evolusi yang terjadi pada umumnya. Menekankan pada survival of the fittest dimana organisme yang lemah atau yang tidak tepat guna akan menghilang atau mati, yang sama-sama menerapkan hukum alam yang bersifat keras bagi yang lemah.  

DAFTAR PUSTAKA
 George Ritzer, Douglas J. Goodman.2007.TEORI SOSIOLOGI MODERN. Yogyakarta. Predana Media Group

MODAL SOSIAL SEBAGAI KATALIS PRODUKTIVITAS PERUSAHAAN

OLEH RIFQI K.ANAM

Perusahaan memiliki dinamika dalam pengembangan industrinya sehingga pengelolaan sumber daya dalam sebuah perusahaan memiliki arti yang sangat signifikan, sumber daya dalam sebuah perusahaan terdiri dari sumber daya alam dan manusia, pengembangan dari sumber daya manusia dalam sebuah perusahaan memiliki andil sangat besar sebagai investasi untuk peningkatan produktifitas. Produktifitas mengacu pada kinerja karyawan sehingga peningkatan sumber daya manusia dalam sebuah perusahaan merupakan suatu kebutuhan yang harus terpenuhi.
Sumber daya terdiri dari sumber daya yang dapat diperbarui dan tidak dapat diperbarui, manusia merupakan sumber daya yang dapat diperbarui maka pembangunan manusia yang berkualitas merupakan investasi yang sangat besar bagi perusahaan. Sumber daya yang bersifat dapat diperbarui maupun tidak hakekatnya dipergunakan untuk dikonsumsi, disimpan dan di investasikan. Sumber daya yang digunakan untuk investasi disebut sebagai modal.
Modal social sangat penting abgi berhasilnya proses produksi karena dengannya akan sangat mungkin membentuk kelompok-kelompok yang erat sehingga mengurangi varietas mekanisme koordinasi formal seperti kontrak, hierarki, konstitusi, system hukum, dan semacamnya. Di sisi lain, norma-norma informal sangat besar mengurangi apa yang disebut ekonom sebagai biaya transaksi (transaction cost) seperti biaya pemantauan, kontrak, keputusan, dan pelaksanaan kesepakatan formal.
Meningkatnya modal social dalam sebuah industri akan mendorong berlanjutynya kehidupan industry dengan tatanan yang jauh lebih maju, dalam artian masyarakat bisa diandalkan untuk tetap menjaga komitmen, norma-norma saling menolong yang gterhormat, dan menghindari perilaku oportunistik, maka tterbentuk sebuah kelompok dimana kelompok tersebut akan mampu mencapai tujuan-tujuan bersama secara lebih efisien. sehingga meningkatkan nilai tambah pada diri karyawan ketika melakukan suatu pekerjaan mereka akan berperilaku kooperatif kepada sesama karyawan, karena diantara mereka terdapat kepercayaan sebagai efek dari norma-norma kooperatif yang memunculkan modal sosial
Francis Fukuyama dalam The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order menjelaskan bahwa “Social capital can be defined simply as the existence of a certain set of informal values or norms shared among members of a group that permit cooperation among them. (Modal sosial adalah serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka).fukuyama menegaskan bahwa pentingnya kepercayaan yang mengakar dalam faktor kultural seperti etika dan moral. Trust muncul maka komunitas membagikan sekumpulan nilai-nilai moral, sebagai jalan untuk menciptakan pengharapan umum dan kejujuran. Ia juga menyatakan bahwa asosiasi dan jaringan lokal sungguh mempunyai dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan ekonomi dan pembangunan lokal serta memainkan peran penting dalam manajemen lingkungan.
Dalam sebuah perusahaan terdiri dari kumpulan sejumlah manusia yang bekerja sama untuk mencapai tujuan perusahaan diperlukan modal social karena dapat menunjang proses produksi. Ada hubungan erat antara modal social dengan tingkat kesejahteraan suatu industry. Kerjasama, hal ini merupakan perwujudan dari modal social, kerjasama tidak akan bisa terlaksan apabila tidak adanya suasana saling percaya, kepercayaan, hakekatnya dalam dirinya sendiri merupakan bukan buatan dari kebajikan moral, tetapi adalah akibat dari kebajikan; kepercayaan muncul bilamana norma-norma kejujuran dan kesediaan untuk saling menolong sehingga dengan kepercayaan menyebabkan “biaya transaksi” dan “biaya control” menjadi rendah, dan hasilnya kesejahteraan industri menjadi loebih baik karena kerjasama telah diaplikasikan oleh entitas dalam perusahaan tersebut.
Modal social yang rendah dapat terlihat dalam tatanan industry yang rasa saling percaya rendah, sehingga diperlukan alat control yang berlapis-lapis. Anggota industry sibuk memperjuangkan kepentingan sendiri dan tidak melihat visi organisasi. Bentuk industri seperti ini tidak melihat proses kreatif dari karyawannya karenaruang untuk saling emmberi sangat sempit dan setiat proses kreatif baru ditelorkan akan disikapi dengan curiga, yang gterjadi adalah sumber daya dan energy yang dimiliki industry banyak dihasilkan kepada usaha yang tidak menghasilkan keuntungan sehingga kesejahteraan karyawan menjadi turun pada tingkat ytang rendah. Ada beberap factor yang menurunkan “cadangan” modal social, antara lain factor sejarah, budaya, dan manajemen.
Percepatan industry tidak hanya melewati modal fisik semata, karena bila dikerahkan semua sinergi antara modal social maka akan tercipta kinerja yang luar biasa. Sebagaimana Putnam menyatakan Putnam (1995) dalam tulisan saeful rahmat Modal sosial menjadi perekat bagi setiap individu, dalam bentuk norma, kepercayaan dan jaringkerja, sehingga terjadi. Sebagai contoh, suatu kelompok yang anggota-anggotanya memperlihatkan rasa percaya dan sangat percaya satu sama lain akan mampu menyelesaikan masalah jauh lebih banyak dibanding dengan kelompok yang tidak memiliki rasa saling percaya.
Industri sangat membutuhkan modal social karena merupakan akses ke sumber informasi yang lebih luas sehingga akn meningkatkan kualitas, relevansi, serta ketepatan waktu untuk informasi yang diperlukan industri guna menunjang produksinya. Industri yang emmiliki cadangan modal social yang melimpah akan memiliki akses terhadap karyawan dengan luas ini menyebabkan industri lebih mudah mendapatkan dukungan dari karyawannya, ini dibuktikan dengan kerjasama antara industri dan karyawannya, industri yang memiliki interaksi baik dengan karyawan tentu akan dipercaya sehingga terbentuk kesamaan tentang visi misi organisasi. Pada gilirannya karyawan akan mementingkan pekerjaan demi kepentingan bersama. karyawan-karyawannya akan menerima setiap saran atau pendapatnya dengan baik. Bahkan meskipun tidak diminta, karyawan akn dengan senang hati melakukan pekerjaan yang bukan ranah kerjanya.
Suatu perusahaan dikelola berdasarkan prinsip organisasi struktural tetapi unsur-unsur kekeluargaan lebih dimunculkan, meskipun terdapat aturan yang bersifat formal tetapi mengutamakan hubungan social dari pada hubungan kerja yang bersifat hierarkis, modal social yang dimiliki yaitu berupa hubungan-hubungan seperti kerjasama dan kebersamaan menjadi sesuatu yang terus dipupuk dan dikembangkan untuk kemajuan perusahaan. Jadi meskipun secara structural masih terdapat perbedaan status dan peran tetapi dalam bekerja karyawan lebih di kedepankan aspek kerjasama ini karena para pimpinan disana tidak melihat individu lain dari posisis tetapi melihat sebagai patner dan keberhasilan bukan hanya ditentukan oleh pimpinan tetapi karna kerjasama semua entitas yang ada disana.
Perusahaan memiliki modal social yang cukup melimpah sehingga hierarki yang terdapat didalamnya tidak begitu mencolok karena hubungan yang terbangun bukan hubungan secara hierarkis namun mengarah kkepada hubungan kekluargaan, sehingga antara pimpinan dan karyawan lebih sering bekerja, sehingga antara pimpinan dan karyawan dalam bekerja tidak terlalu melihat masalah strata. Dengan adanya hubungan kekeluargaan membuat karyawan lebih produktif dalam bekerja dan dengan produktifitas karyawan yang semakin meningkat menjadikan kesejahteraan industri meningkat pula.
DAFTAR PUSTAKA
Fukuyama, F. 2002. The Great Disruption. Penerbit Qalam, Yogyakarta
Fukuyama, F. 2001. Trust: The SocialVirtues and the Creation of Prosperity, New York:
FreePress
Lawang R,M,Z. 2004. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik suatu pengantar. Fisip UI Press. Jakarta

FILSAFAT KRITIS

OLEH : RIFQI K. ANAM
1. PENDEKATAN DEFINISI
Secara etimologis kritis dapat berarti pertama keadaan kritis, gawat atau genting; kedua, berarti tidak lekas percaya dan ketiga, bersifat selalu menemukan kesalahan atau kekeliruan dapat pula diartikan tajam dalam penganalisisan (Tim KUBI, 1989:466). Ber-kaitan dengan tulisan ini maka kritis lebih diarahkan pada pengertian yang kedua. Dalam bahasa Inggris kritis diambilkan dari critical sebagai contoh critical sociology, yang dimaksudkan adalah teori kritis. Filsafat kritis di definisikan filsafat yang berusaha memahami hakikat realitas yang ditentukan penindasan dan penghisapan. Filsafat kritis berusaha membuka kesadaran palsu masyarakat yang tujuannya menghilangkan kuasa mutlak penindasan atas manusia. Filsafat kritis berbeda dengan filsafat tradisonal yaitu filsafat kritis ingin membongkar dan merubah struktur penindasan dalam masyarakat (Hardiman, Francisco Budi. 1990. Hlm 10). Filsafat kritis selalu curiga dan mempertanyakan kondisi “status quo” di masyarakat yang kelihatannya produktif dan bagus dan tampak dipermukaan tersebut sesungguhnya terselubung struktur masyarakat yang menindas dan menipu kesadaran khalayak
Filsafat kritis dipandang ingin membongkar secara teoretik reflektif dan praksis atas realitas masyarakat sekarang ini. Filsafat Kritis disebut juga sosiologi kritis atau filsafat kritik masyarakat. Sebagai-mana akan lebih ditonjolkan dalam analisis nanti bahwa Filsafat kritis tidak hanya mau mendeskripsikan, menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan, mengkategorikan, mengatur, melainkan mau mengu-bahnya. Ini khas Marxian, bahkan menurutnya filsuf-filsuf hanya membicarakan saja, namun tidak mengubahnya.
2. KONTEKS SOSIO-HISTORIS
Secara sosio-historis kemunculan paradigma kritis didahului penindasannazi di jerman dimana Kepemimpinan Hitler terhadap partai Nasionalsosialis dengan ultra nasionalime sangat mengacu pada rasio dan revolusi kebebasan sehingga sangat bersikap keras dalam mempromosikan antisemitisme dan secara terang-terangan memusuhi sosialisme dan komunisme, sehingga pemerintah Jerman dapat diambil alih olehnya. Di samping itu Hitler menggunakan kekuasaanya untuk melakukan banyak tindakan-tindakan kekerasan yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.
Muncullah kemudian pemikir-pemikir sosial yang menyadari dan ingin merubah kondisi sosial yang ada, pemikir-pemikir tersebut berasumsi kondisi status quo yang ada merupakan kesadaran palsu yang diciptakan nazi sehingga harus dirubah. Filsafat kritis diawali Gagasan Karl Marx dalam Theses on Feuerbach. Dalam tulisan tersebut Marx menyatakan bahwa para “filsuf memberi banyak interpretasi yang berbeda terhadap dunia, namun yang terpenting adalah bagaimana mengubah dunia”. Dalam hal ini Teori Kritis menggugat kembali rasionalitas dan positivisme karena bersifat ideologis. Positivisme logis menyatakan bahwa ilmu pengetahuan atau sains modern telah direduksi secara total menjadi sistem administrasi yang semata-mata bersifat rasional dan teknologi murni.
Filsafat kritis Bermula dari sebuah institut di Jerman, Institut fur Sozialforschung yang didirikan pada tahun 1923 oleh seorang kapitalis yang bernama Herman Weil, seorang pedagang grosir gandum, mau melakukan sesuatu untuk mengurangi penderitaan di dunia (termasuk dalam skala mikro: penderitaan sosial dari kerakusan kapitalisme). Institut tersebut merupakan awal mula tokoh-tokoh Teori kritis memulai pemikiran-pemikirannya. . Max Horkheimer menjadi direkturnya pada tahun 1931. Theodor Adorno, Erich Fromm, Leo Lowenthal, Herbert Marcuse, dan, yang lebih jauh, Karl Korsch dan Walter Benjamin berada di antara teoretisi terkemuka dan peneliti yang terkait dengan lembaga. Awalnya, lembaga keilmuan ini berusaha untuk memperbarui teori Marxis dengan mempelajari perkembangan sosial baru seperti memperluas peran negara dalam perencanaan sosial dan kontrol. Munculnya fasisme dan runtuhnya oposisi yang efektif oleh pihak pekerja, bagaimanapun, mendorong mereka untuk menyelidiki sumber baru dan bentuk-bentuk otoriterisme dalam budaya, ideologi, dan pengembangan kepribadian dan untuk mencari kekuatan oposisi baru. Dengan menekankan pentingnya dan semiautonomy budaya, kesadaran, dan aktivisme, mereka mengembangkan versi yang inovatif, humanistik, dan terbuka teori Marxis yang menghindari reduksionisme determinisme dan kelas banyak teori Marxis yang dicirikan era mereka.
Kritik imanen'',''metode deskripsi dan evaluasi yang berasal dari Karl Marx dan Georg WF Hegel, membentuk inti pendekatan interdisipliner Sekolah Frankfurt untuk penelitian sosial. Sebagai Marxis, anggota dari Sekolah Frankfurt berkomitmen untuk sebuah proyek revolusioner emansipasi manusia. Daripada kritik yang ada pengaturan sosial dalam dari satu set nilai-nilai etika yang dipaksakan dari luar'',''Namun, mereka berusaha untuk menilai lembaga-lembaga sosial dengan lembaga-lembaga internal sendiri '(yaitu,''''imanen) dan self-nilai disertai klaim ideologis. (Contoh dari aplikasi praktis dari pendekatan semacam itu adalah sipil selatan hak-hak pergerakan tahun 1960-an, yang menilai sistem kasta rasial di Selatan dalam terang nilai-nilai Amerika mengaku demokrasi, kesetaraan, dan keadilan.) Kritik imanen sehingga membuat anggota Sekolah Frankfurt dengan sudut pandang arbitrer untuk pengujian kritis institusi sosial, sementara itu peka mereka untuk kontradiksi antara penampilan sosial dan level yang lebih dalam realitas sosial.
Filsafat Kritis menjadi inspirasi dari gerakan sosial kemasyarakatan. Gerakan sosial ini dipelopori oleh pemikir sosial yang pada waktu itu. Filsafat Kritis ini ada juga untuk melawan Filsafat tradisional yang afirmatif (memberikan pengertian yang lebih memuaskan tentang realitas, dengan menjadi puas karena realitas itu, jadi realitas tersebut diafirmasi dan dibenarkan), dimana Filsafat tradisional pada intinya ingin menciptakan sebuah pencerahan dan kebebasan agar pengetahuan berada sedekat mungkin dengan realitas atau kebenaran. Filsafat Kritis melihat Filsafat tradisional tidak berhasil dalam tujuannya dalam mencerahkan serta membebaskan manusia. “Teori Tradisonal tersebut hanya bisa mengubah pengertian kita tentang realitas, tetapi tidak mampu mengubah realitas itu sendiri.” Inilah hal yang akhirnya dikritisi oleh toko-tokoh Filsafat Kritis. Lebih dalamm lagi dijelaskan bahwa teori tradisional dibatasi pada kotemplasi yang artinya hanya memandang dan tidak bisa menjadi praktis dan dicoba untuk mengubah apa yang dipandang itu. antara riset substantif dan filsafat. Teori Kritis ingin menggabungkan kedua cabang pengetahuan tersebut ke dalam satu bentuk refleksi yang mengambil model filsafat sejarah Hegel. Untuk bisa mencapai hal tersebut, maka sangat diperlukan teori sejarah yang mampu menjelaskan kekuasaan efektif dari akal budi yang bersandar kepada prosesnya sendiri. Asumsi dasar dari konsep filsafat sejarah semacam itu berasal dari gagasan Max Horkheimer dan Herbert Marcuse yang memiliki akar tradisi pemikiran Marxis.
Tetapi berbeda dengan Marx, untuk menghadapi hal tersebut Teori Kritis lebih berfokus kepada suprastruktur dibandingkan basis ekonomi dari masyarakat. Selain itu Teori Kritis juga menekankan pandangan terhadap nilai-nilai moral, politik dan agama. Di sini dipahami bahwa Teori Kritis memiliki klaim bahwa pengetahuan bersifat relatif terhadap kepentingan manusia dan oleh sebab itu diperkenalkan suatu rentang yang luas dari kritisisme budaya ke dalam teori sosial Marxis. Teori Kritis bermaksud menelanjangi pemahaman yang keliru dan melekat tentang persepsi akal budi ideal pada kondisi sosial politik masyarakat kapitalis. Dengan demikian Teori Kritis berupaya untuk mengidentifikasi kemungkinan perubahan sosial, sekaligus mempromosikan bentuk refleksi diri dan masyarakat yang bebas dari dominasi. Dengan demikian, Gagasan dasar Teori Kritis adalah untuk menjembatani jurang
3. GENEALOGI FILSAFAT KRITIS
Filsafat kritis ini berinspirasi pada pemikiran dasar Karl Marx, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa inspirasi Teori Kritis banyak didialogkan dengan aliran-aliran besarfilsafat khususnya filsafat sosial pada waktu itu.Sejak semula, Sekolah Frankfurt menjadikan pemikiran Marx sebagai titik tolak pemikiran sosialnya. Tapi yang perlu harus diingat adalah bahwa SekolahFrankfurt tetap mengambil semangat dan alur dasar pemikiran filosofis idealism Jerman, yang dimulai dari pemikiran kritisisme ideal Immanuel Kant sampai pada puncak pemikiran kritisisme historis dialektisnya Georg William FriederichHegel. Dengan sangat cerdas, sebagian besar pemikir dalam sekolah Franfurtberdialog dengan Karl Marx, Hegel dan I. Kant. Jadi dapat dikatakan bahwa pemikiran dialektis materialis ekonomi Karl Marx, pemikiran ideal rasional historis Hegel dan perspektif normatif subjek otonom Immanuel Kant bukan merupakan barang-barang yang asing dalam pemikiran filsafat
Kritis.
Untuk memahami genealogi filsafat kritis, ia harus ditempatkan dalam konteks Idealisme Jerman dan kelanjutannya. Karl Marx dan generasinya menganggap Hegel sebagai orang terakhir dalam tradisi besar pemikiran filosofis yang mampu ”mengamankan” pengetahuan tentang manusia dan sejarah. Namun, karena beberapa hal, pemikiran Marx mampu menggantikan filsafat teoritis Hegel, yang hal ini, menurut Marx, terjadi dengan membuat filsafat sebagai hal yang praktis; yakni merubah praktik-praktik yang dengannya masyarakat mewujudkan idealnya. Dengan menjadikan nalar sebagai sesuatu yang ’sosial’ dan menyejarah, skeptisisme historis akan muncul untuk merelatifkan klaim-klaim filosofis tentang norma dan nalar menjadi ragam sejarah dan budaya forma-forma kehidupan.
Filsafat kritis menolak skeptisisme diatas dengan tetap memertahankan kaitan antara nalar dan kehidupan sosial. Dengan demikian, teori kritis menghubungkan ilmu-ilmu sosial yang bersifat empiris dan interpretatif dengan klaim-klaim normatif tentang kebenaran, moralitas, dan keadilan yang secara tradisional merupakan bahasan filsafat. Dengan tetap memertahankan penekanan terhadap normativitas dalam tradisi filsafat, teori kritis mendasarkan cara bacanya dalam konteks jenis penelitian sosial empiris tertentu, yang digunakan untuk memahami klaim normatif itu dalam konteks kekinian.
Bagi Kant, filsafat, khususnya filsafat transenden, memiliki dua peran. Pertama, sebagai ”hakim” yang dengannya sains dinilai. Kedua, sebagai wilayah untuk memunculkan pertanyaan normatif. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan normatif, dalam perspektif Kantian, sains tidak dibutuhkan, karena hal itu dijawab melalui analisis transenden.
Ilsafat kritis yang berorientasi emansipasi berusaha mengkontekstualisasi klaim-klaim filosofis tentang kebenaran dan universalitas moral tanpa mereduksinya menjadi sekedar kondisi sosial yang menyejarah. Teori kritis berusaha menghindari hilangnya kebenaran yang telah dicapai oleh pengetahuan masa lalu.
Tentang hal ini Horkheimer menyatakan ”Bahwa semua pemikiran, benar atau salah, tergantung pada keadaan yang berubah sama sekali tidak berpengaruh pada validitas sains”.Filsafat kritis memungkinkan kita membaca produksi budaya dan komunikasi dalam perspektif yang luas dan beragam. Ia bertujuan untuk melakukan eksplorasi refleksif terhadap pengalaman yang kita alami dan cara kita mendefinisikan diri sendiri, budaya kita, dan dunia. Saat ini teori kritis menjadi salah satu alat epistemologis yang dibutuhkan dalam studi humaniora. Hal ini didorong oleh kesadaran bahwa makna bukanlah sesuatu yang alamiah dan langsung. Bahasa bukanlah media transparan yang dapat menyampaikan ide-ide tanpa distorsi, sebaliknya ia adalah seperangkat kesepakatan yang berpengaruh dan menentukan jenis-jenis ide dan pengalaman manusia. Dengan berusaha memahami proses dimana teks, objek, dan manusia diasosiasikan dengan makna-makna tertentu, filsafat kritis memertanyakan legitimasi anggapan umum tentang pengalaman, pengetahuan, dan kebenaran. Dalam interaksi sehari-hari dengan orang lain dan alam, dalam kepala seseorang selalu menyimpan seperangkat kepercayaan dan asumsi yang terbentuk dari pengalaman—dalam arti luas—dan berpengaruh pada cara pandang seseorang, yang sering tidak tampak. Teori kritis berusaha mengungkap dan memertanyakan asumsi dan praduga itu.
Dalam usahanya, filsafat kritis menggunakan ide-ide dari bidang lain untuk memahami pola-pola dimana teks dan cara baca berinteraksi dengan dunia. Hal ini mendorong munculnya model pembacaan baru. Karenanya, salah satu ciri khas teori kritis adalah pembacaan kritis dari dari berbagai segi dan luas. Teori kritis adalah perangkat nalar yang, jika diposisikan dengan tepat dalam sejarah, mampu merubah dunia. Pemikiran ini dapat dilacak dalam tesis Marx terkenal yang menyatakan ”Filosof selalu menafsirkan dunia, tujuannya untuk merubahnya”. Ide ini berasal dari Hegel yang, dalam Phenomenology of Spirit, mengembangkan konsep tentang objek bergerak yang, melalui proses refleksi-diri, mengetahui dirinya pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Hegel menggabungkan filsafat tindakan dengan filsafat refleksi sedemikian rupa sehingga aktivitas atau tindakan menjadi momen niscaya dalam proses refleksi. Hal ini memunculkan diskursus dalam filsafat Jerman tentang hubungan antara teori dan praktis, yakni bahwa aktivitas praktis manusia dapat merubah teori. Filsafat kritis, dengan demikian, adalah pembacaan filosofis—dalam arti tradisional—yang disertai kesadaran terhadap pengaruh yang mungkin ada dalam bangunan ilmu, termasuk didalamnya pengaruh kepentingan.
Barulah Max Khrokheimer dan Theodor W Adorno  yang kemudian melahirkan konsep baru dari filsafat Kritis. Gagasan Adorno diawali dengan pengalaman historis yakni fasisme sebagai produk gagal dari kebudayaan yang membuatnya begitu skeptis atas gagasan materialisme historis. Hal ini dipertajam pula oleh keraguannya terhadap rasionalisme sempit dari tradisi teori Marxis, sehingga Adorno berupaya untuk menghasilkan metode interpretasi yang bersifat estetis dari filsafat sejarah materialisme. Pada tahun 1947, Adorno bersama Horkheimer menulis The Dialectic of Enlightenment sebagai ekspresi motif intelektual baru dalam filsafat negatif dari sejarah. Mereka menyatakan bahwa totalitarianisme tidak dapat dijelaskan sebagai hasil dari konflik antara kekuatan dan hubungan produksi. Totalitarianisme merupakan hasil dari dinamika internal bentuk kesadaran manusia. Pendapat Adorno dan Horkheimer berangkat dari kerangka bahwa teori kapitalisme dan proses peradaban seluruhnya adalah merupakan sebuah sistem referensi yang menyatu. Dalam konteks ini fasisme muncul sebagai tahapan sejarah akhir dari logika pembusukan (logic of decay) yang bersifat inheren pada bentuk awal mula eksistensi spesies itu sendiri. Proses peradaban  mengambil bentuk spiral yang bergerak sebagai tindakan asli manusia yang berupaya menaklukan alam dan mencapai konsekuensi logis di dalam fasisme. Salah satu kesimpulan yang ditulis di dalam The Dialectic of Enlightenment adalah penyangkalan dari setiap dimensi kemajuan peradaban termanifestasi dalam bentuk intensifikasi kekuatan produksi. Selain itu, dinyatakan pula bahwa setiap bentuk praktek politik praksis adalah tindakan yang berorientasi kepada kontrol sehingga praktek politik harus dikeluarkan dari ranah alternatif yang bersifat positif. Dengan demikian terlihat bahwa aktivitas lingkaran terdalam dari para periset Institut mengabaikan sebagai kemungkinan situasi aktivitas mereka di dalam politik yang bersifat nyata.
Pada dasarnya kaitan antara filsafat kritis dan filsafat tradisional serta ideologi di dalamnya; atau kaitan antara pengetahuan dan kepentingan atau kaitan teori kritis dengan perubahan sosial menjadi suatu yang tak terelakkan. Namun sebagaimana suatu teori hendaknya bersifat revolusioner, sebab tiada tindakan yang revolusioner, tanpa teori yang revolusioner demikian ungkapan Stalin (Giddens, 1982).
Teori kritis melalui refleksinya menunjukkan kepada kita bagaimana filsafat tradisional telah dibangun dengan membe-lenggu kebebasan manusia, sekaligus mencoba menegasi subjektivitas manusia atas realitas sosial maupun konstruksi pengetahuan yang ada. Dengan demikian dengan mempelajari teori kritis, maka seseorang akan dibuka matanya akan realitas yang sesungguhnya. Terbuka pula selubung-selubung ideologis yang secara inheren terbawa oleh industrialisasi, maupun ciptaan-ciptaan yang mengikutinya
4. TOKOH-TOKOH UTAMA FILSAFAT KRITIS
Max Khokheimer
Horkheimer menyebutkan dalam bukunya Eclipse of Reason (Kemunduran Rasio, 1974), bahwa pemahaman sarionalitas pencerah sebagai Zweckrationalitat (rasinal tujuan) atau dengan istilah mereka terkenal: rasio instrumental. Rasio ini hasil dari pencerahan itu memusuhi metafisika dan pemahaman mitologis yang berusaha memahami abstrak objektif tentang kenyataan yang penuh misteri, misalnya Tuhan, dunia, Ada, Roh. Tetapi sekalipun pencerahan memusuhi pemahaman metafisis dan metologis, pencerahan mempertahankan  “cara” rasio memahami kenyataan. Kemudian cara rasio memahami kenyataan metafisis itu dirumuskan dalam prinsip logis yang telah dikosongkan dari “isi” nya yang metafisis dan menjadi “bentuk” saja. Hasil yang dicapai memalui formalisasi cara berfikir demikian adalah logika formal matematika. Rasio menjadi tukang atau alat kalkulasi yang setia pada tujuan diluar dirinya.
Theodor W. Adorno  
Pemikiran Adorno pertama-tama menganalisa pemikiran yang dikembangkan oleh Hegel, Marx tentang Idealismenya. Idealisme (Hegel, Plato) menjelaskan bahwa berfikir ialah mengidentifikasikan. Sebaliknya bagi Adorno tugas Filsafat adalah menemukan kontradiksi, non identitas. Menurut Bertens, ini inti pemikiran Adorno yang sulit untuk diuraikan.
Selain yang tentang idealism, Adorno juga memiliki karya yang terpenting ialah Dealektika Negative yang oleh Adorno sendiri dalam kata pengantarnya disebuat sebuah inti system.
non-identitas artinya. Adorno menolak identitas yang fix. Karena identitas yang fix, berarti akan menyingkirkan identitas yang lain, yang kurang kadar kebenarannya. Standard tiap tentang identitas yang fix, tentu akan berbeda-beda. Konsekuensinya jelas, yang satu akan mengekspansi yang lain. penolakan makna, simbol, bahasa, atau identitas yang fix ini dilakukan Adorno dalam kerangka modernitas.
Helbert Marcuse
Kalau Max Horkhiemer dan Adorno menyoroti sejarah tentang munculnya rasionalitas zaman ini, Marcuse menyoroti bagaimana rasionalitas zaman ini berfungsi sebagai ideology dan dominasi. Dalam arti ini, Marcuse berpendapat ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern yang sebenarnya dapat membebaskan manusia dari tuntutan untuk bekerja keras ternyata menjadi system penguasaan total dalam masyarakat. Intinya, Marcuse akan mengungkapkan bahwa Ilmu Pengetahuan dan tekhnologi menjadi dominasi yang mengkungkung kehidupan manusia itu sendiri.
Marcuse juga berbicara banyak tentang Rasionalitas Tekhnologis, ciri utama utama rasionalitas ini adalah bersifat ideologis, artinya rasionalitas tekhnologis ini tidak lagi netral, karena sebenarnya dia telah menyediakan dirinya sebagai sara bagi pelestarian kekuasaan yang ada. Rasio terjebak menjadi ideology ini akhirnya kehilangan sifat hakiki sebagai raio. Karena itupun ia telah kehilangan sifat kritisnya menjadi semata-mata instrumentalis. Rasionalitas akhirnya akan melahirkan suatu system kemasyarakatan yang bersifat represif dan totaliter.
Represif artinya system yang menindas kemampuan-kemampuan alamiah manusia untuk mengungkapkan kebebasannya sebagai sesuatu essensial. Sedangkan arti totaliter berarti system ini berifat menyeluruh, dan mengurusi segala hal.
Ciri kedua rasionalitas ini adalah nilai-nilai yang menlandasi rasionalitas ini memakai nilai-nilai yang menekankan efesiesnsi, produktivitas, kelancaran dan kepastian matematis. Orientasi terhadap nilai-nilai tersebut, menuntut pendekatan yang paling tepat mencapai nilai-nilai tersebut. Pendekatan yang tepat adalah pendekatan kuantitatif.
Keadaan yang menjadikan rasionalitas Tekhnologis seperti ini seakan-akan memberikan repressive tolerance, yaitu suatu keadaan yang tampaknya toleran dan memberikan kesan seolah-olah memberi kebebasan seluas-luasnya, padahal maksudnya tidak lain adalah penindasan.




Juergen Habermas
Jurgen Habermas dilahirkan pada 18 Juni 1929 di Dusseldorf. Dia dibesarkan di lingkungan Protestan dimana kakeknya adalah direktur seminari di Gummersbach. Belajar di universitas Gottingen dan Zurich, Habermas meraih gelar doktor di bidang filsafat dari universitas Bonn pada tahun 1954 dengan disertasi berjudul Das Absolute und die Geschichte Von der Zwiespältigkeit in Schellings Denken
(Yang absolut dan sejarah: tentang kontradiksi dalam pemikiran Schelling). Pada tahun 1956, Habermas belajar filsafat dan sosiologi dibawah bimbingan teoritisi kritis Max Horkheimer dan Theodor Adorno di Institut Penelitian Sosial Frankfurt. Dalam Dialectic of Enlightenment yang diterbitkan pada tahun 1947, Adorno dan Horkheimer menyatakan bahwa usaha untuk mencapai nalar pencerahan dan kebebasan ternyata berdampak pada munculnya bentuk baru irasionalitas dan represi. Pascaperang dunia, Adorno mengembangkan cara berpikir yang disebut dialektika negative yang menolak segala bentuk pemikiran afirmatif tentang etika dan politik. Sementara Horkheimer semakin tertarik pada teologi. Di titik inilah Habermas, yang bergabung dengan Institut Penelitian Sosial Frankfurt pasca perang dunia, memulai pemikirannya. Pemikiran Habermas berbicara tentang pengembangan konsep nalar yang lebih komprehensif, yakni nalar yang tidak tereduksi pada instrumen teknis dari subjek individu, dalam pengertian monad, yang kemudian memungkinkan terbentuknya masyarakat emansipatif dan rasional. Usaha ini melahirkan tesis tentang keterkaitan antara pengetahuan dan kepentingan manusia. Tentang hal ini, Habermas mempostulasi keberadaan tiga kepentingan manusia yang berakar. Tiga
kepentingan ini adalah: teknis (technical), praktis (practical), dan emansipatoris (emancipatory). Secara berurutan pengertian tiga kepentingan ini adalah kepentingan yang membentuk pengetahuan dalam kontrol teknis terhadap alam; dalam memahami orang lain; dan dalam membebaskan diri dari struktur-struktur dominasi. Barat modern menyaksikan bahwa keinginan menguasai alam berubah menjadi hasrat mendominasi manusia lain. Untuk memperbaiki penyimpangan ini, Habermas menekankan rasionalitas yang inheren dalam kepentingan praktis dan emansipatoris. Dia menegaskan bahwa dasar rasional untuk
kehidupan bersama hanya dapat diraih ketika hubungan sosial diatur menurut prinsip bahwa validitas konsekuensi politis tergantung pada kesepakatan yang dicapai dalam komunikasi yang bebas dari dominasi. Konsepsi Habermas tentang teori kritis mengalami kristalisasi pada tahun 60-an dalam karyanya tentang filsafat ilmu sosial, On the Logic of the Social Sciences dan Knowledge and Human Interests. Habermas mengkritik positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, dengan mengatakan bahwa paradigma positivistik sesuai untuk ilmu-ilmu alam yang tujuan akhirnya adalah mengontrol alam. Ilmu budaya (cultural sciences), seperti sejarah dan antropologi, lebih sesuai didekati
secara interpretatif. Tapi ketika berbicara tentang ilmu-ilmu sosial, Habermas meyakini bahwa kepentingan teknis—seperti dalam ilmu alam—dan praktis—seperti dalam ilmu budaya—seharusnya berada dibawah kepentingan emansipatoris. Dengan demikian, yang harus dilakukan ilmuwan sosial adalah, pertama, memahami situasi subjektif yang terdistorsi secara ideologis dari individu atau kelompok; kedua, memahami kekuatan-kekuatan yang menyebabkan situasi tersebut; dan ketiga,
menunjukkan bahwa kekuatan-kekuatan ini bisa diatasi melalui kesadaran individu atau kelompok yang teropresi tentang kekuatan-kekuatan itu. Habermas adalah seorang pembela proyek modernitas yang tidak terlepas dari zaman Pencerahan. Pembelaan ini didasarkan atas dasar-dasar yang universal.
Pencerahan, bagi Habermas, adalah penanda kesadaran bahwa kemampuan berkomunikasi rasional membedakan manusia dari selainnya. Habermas berpandangan bahwa dunia dewasa ini terdiri dari ragam ideal-ideal kehidupan dan orientasi-orientasi nilai yang saling bersaing, yang, karena pengaruh
batas-batas bahasa dan institusi, hanya beberapa diantaranya yang mencapai wilayah publik luas. Untuk itu, bagi Habermas, dibutuhkan teori moral normatif. Kondisi modernitas, dimana ideal-ideal individu begitu beragam sehingga etikatidak lagi bisa memaksakan suatu nilai tertentu, membutuhkan prosedur tertentu untuk menyelesaikan konflik. Agar supaya bisa memenuhi tuntutan moral, prosedur dimaksud harus didasarkan pada prinsip bahwa semua manusia harus saling menghormati sebagai pribadi yang merdeka dan setara. Teori kebenaran Habermas bersifat realis, yang berarti bahwa dunia objektif, alih alih kesepakatan ideal, adalah penentu kebenaran. Jika sebuah pernyataan, yang kita anggap benar, ternyata benar, hal itu karena pernyataan itu dengan tepat merujuk pada objek yang ada atau dengan tepat mewakili kondisi sebenarnya. Habermas menghindari perbincangan tentang metafisika dan lebih memilih berbicara tentang hal-hal yang praktis dan implikasinya untuk diskursus dan tindakan
keseharian.
5. MANUSIA DAN MASYARAKAT DALAM FILSAFAT KRITIS
Dalam pandangan kritis anusia dan masyarakat dipengaruhi oleh kecenderungan Weberian yang menekankan rasionalitas sebagai bentuk instrumental, Perkembangan masyarakat rasional tersebut dilihat sebagai inti dominiasi yang menyebar ke segala penjuru kehidupan dan pada prosesnya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah melumpuhkan agen potensial dari perubahan sosial. Istilah yang digunakan Horkheimer dan Adorno adalah masyarakat yang diatur secara total (totally administered society) yang kemudian oleh Marcuse disebut sebagai manusia satu dimensi (one-dimensional man). Perluasan analisis Marx berupa pemujaan tubuh atau fetisisme disini bertujuan untuk menggugah kesadaran kritis manusia yang dianggap sudah redup oleh komersialisme pasca perang. penalaran manusia tertutupi dengan reifikasi, hegemoni dan dominasi tanpa menawarkan alternatif positif darinya.
Marcuse menyebut proses reifikasi. Dimana relasi antarindividu nampak sebagai relasi komoditas. Hubungan antarmanusia menjadi sebuah hubungan komoditas yang sifatnya pertukaran ekonomis-politis belaka. Marcuse mengkritik kecenderungan reifikasi ini sebagai kondisi yang tidak manusiawi dalam masyarakat manusia.
Dalam sisi yang lain Adorno dan Horkheimer melihat permasalahan masyarakat dari awalan munculnya fajar budi manusia. perkembangan masyarakat modern yang diawali dengan semangat pencerahan melalui cara berpikir positivistik dan ilmu-ilmu alam telah meruntuhkan belenggu pemahaman mitologis. Tetapi menurut Adorno dan Horkheimer cara berpikir positivistik dan ilmu-ilmu alam itu sendiri sebenarnya merupakan mitos baru yang lahir dari mitos lama yang telah ditaklukkannya (F. Budi Hardiman, 2009 : 69). Misalnya pada motif peluncuran Apollo 13 membawa misi ideologis pernyataan Presiden Amerika John F. Kennedy, yang mencanangkan manusia harus bisa mendarat kebulan merupakan selubung positivistik yang sebenarnya tidak objektif dan tidak bebas nilai (value-free). Jelas terlihat adanya keterkaitan antara ilmu pengetahuan dan teknologi dengan praksis ideologis. Kondisi ini menggambarkan bahwa ide pencerahan yang diwujudkan dalam positivistik hanya sebuah instrumen dari hegemoni ideologis melalui rasionalitas instrumental. Herbert Marcuse, menjadikan muatan politis nalar teknis, sebagai titik awal kritiknya atas kapitalisme lanjut. Marcuse menyatakan bahwa rasionalitas formal (teknologis) telah menghapus kepentingan sosial yang menentukan penerapan teknik-teknik tertentu (Thomas Mc Carthy, 2006 : 23).
Hegemoni rasionalitas instrumental sangat kentara sekali dalam usaha menyukseskan proyek antariksa Amerika Serikat. Hasil yang dicapai selalu bersandar pada cara berpikir logika formal dan matematis. Rasio hanya menjadi instrumen belaka, sebagai alat kalkulasi, verifikasi, pelayan klasifikasi yang setia pada tujuan diluar dirinya yaitu kepentingan ideologis. Di balik rasionalitas yang dibangun ternyata memunculkan irrasionalitas baru. Sehingga rasionalitas instrumental tidak lain hanyalah mitos baru dalam masyarakat modern. Manusia-manusia yang hidup tidak punya pilihan hidup karena dibuatnya pasif, reseptif, dan tidak lagi menghendaki perubahan.Yang lebih menarik lagi kata Marcuse adalah bahwa masyarakat industri modern tetap merupakan masya-rakat yang teralienasi, karena mengasingkan manusia-manusia yang menjadi warganya dari kemanusiaannya. Bahkan lebih gawat lagi karena manusia-manusia tersebut semakin tidak menyadari bahwa dirinya itu dalam keadaan yang teralienasi.
6. NILAI SOSIAL POLITIK MENURUT FILSAFAT KRITIS
Nilai social dan politik telah direifikasi menjadi kepentingan berdasar materi semata sehingga mengakibatkan kematian semesta politik karena semua politisi bukan berpolitik untuk menyejahterakan rakyat melainkan untuk memperkaya diri pribadi karena telah tertanam dalam pola pikir mereka bahwa pragmatism adalah satu-satunya yang benar. Oleh karena itu benar adanya bila ideology dan aspirasi politik dalam kehidupan modern telah ditukar dengan materi.
Nilai social dan politik dalam kehidupan modern didasarkan pada prinsip-prinsip efisiensi, daya prediksi, daya hitung, dan kontrol melalui teknologi non-manusia dalam kesatuan sistem operasionalnya.
menyatunya nilai kehidupan masyarakat system rasio . Bangunan dasar epistemologisnya, seperti kata Weber, adalah birokratisasi yang merupakan perpanjangan tangan rasionalisasi. Bentuk rasionalitas yang dianut di sini adalah rasionalitas formal, yang akan membuat orang menjadi memiliki sejumlah kecil pilihan sarana bagi pencapaian tujuan akhir. Jadinya, nilai dalam masyarakat diarahkan kepada proses homogenisasi yang dianggap sebagai suatu bentuk pilihan pragmatis.
Nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dikerangkeng-besi-rasionalitaskan rasionalisasi dan birokratisasi itu ternyata justru membelenggu dan menolak sifat dasar kemanusiaan. Orang akhirnya hanya bergerak dari suatu institusi-institusi yang telah terasionalisasi dan tak memiliki ruh kemanusiaan. Pun, irasionalitas yang mendekam dalam sistem rasional ini berarti bahwa sistem rasional itu merupakan sistem yang akhirnya tidak beralasan dan mengingkari kemanusiaan.
7. NEGARA,KEKUASAAN, KEWENANGAN
Ada pun Negara dalam pandangan kritis Negara telah melanggar sifat-sifat kemanusiaan dimana sifat-sifat keadaan Negara yang sesuai dengan hakikat manusia ini dibuktikan dengan privatisasi yang dilakukan Negara. Berkaitan dengan kekuasaan Negara filsafat kritis menganggap kekuasaan Negara merupakan kekuasaan yang harus dikritisi yaitu sejauh mana Negara member kemanfaatan bagi rakyatnya sehingga harus bertujuan negara untuk membangun, memelihara serta mengembangkan kesejahteraan dan kebahagiaan.

Daftar pustaka

Hardiman, Francisco Budi. 1990. Kritik Ideologi. Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta:
Kanisius
Hardiman, F. Budi. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif. Ilmu, Masyarakat, Politik &
postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius
Hardiman, Francisco Budi,. 2009. Menuju Mayarakat Komunikatif, ilmu, masyarakat, politik dan
postmodernismo menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta. Kanisus.

Mc Carty, Thomas. 2006. Teori Kritis Jurgen Habermas. Yogyakarta. Kreasi Wacana.

Manurung, Hendra. Critical Theory. Dari http://www.scribd.com/doc/4542836/CRITICAL-THEORY






KORELASI ANTARA GLOBALISASI KOMUNIKASI DENGAN POLA PERILAKU KOMUNIKASI MASYARAKAT DESA DAN KOTA

Oleh : RIFQI K.ANAM
Bagi sementara kalangan, era globalisasi ekonomi dan informasi ini, pembicaraan umumnya berkisar mengenai lenyapnya batas-batas teritorial, batas-batas negara dan bangsa, batas-batas kesukuan dan kepercayaan, batas-batas politik dan kebudayaan, yang pada waktu lalu dianggap sebagai hambatan dalam interaksi global. Oleh karena semua batas-batasnya lenyap maka yang terjadi adalah transparansi hampir di semua bidang, seperti jaringan transparansi informasi, transparansi komunikasi, transparansi ekonomi, juga transparansi budaya.
     Ketika batas antara satu unsur dengan lainnya hilang maka muncullah apa yang dinamakan orbitasi. Melalui orbitasi televisi maka informasi, tontonan, hiburan, kesenangan berputar dari satu stasiun ke stasiun lainnya, dari satu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya. Orbitasi ekstasi melahirkan fantasi, halusinasi, ilusi yang berpindah dari satu sub kultur ke sub kultur yang lain, dari satu diskotek ke diskotek lainnya. Dan jangan lupa bahwa di dalam orbitasi itulah maka lahir anonimitas aktor, yaitu aktor yang tak dikenal identitasnya. Di dalam era globalisasi informasi sekarang ini, pandangan citra diri masyarakat kontemporer kita telah berubah jika dibanding dengan pandangan dunia para leluhur kita. Anak-anak muda sekarang terbiasa sekadar melihat objek dan citraan semata-mata, tanpa mampu melihat makna yang tersembunyi di balik objek dan pencitraan tersebut. Padahal, citraannya mengaburkan kapasitas kita bagi pembentukan eksistensi yang otentik, subjektivitas yang benar terhadap diri kita sendiri.
Isyarat dengan menggunakan alat seperti gong, tambur, sirene, dan lain-lain  mempunyai makna tertentu. Membunyikan gong di tengah malam di kampung-kampung di Timor atau di Sumba itu pertanda meminta pertolongan (ada perampokan, pencurian, ataupun kebakaran).Warna juga yang mempunyai makna tertentu dalam berkomunikasi di masyarakat. Warna putih selalu diidentikkan dengan ketulusan dan kemurnian. Warna hitam selalu dipertunjukkan untuk mengekspresikan kesedihan. Misalnya, sebagai tanda perkabungan.Gambar sebagai lambang yang banyak dipergunakan dalarn komunikasi memang melebihi kial, isyarat, dan warna dalarn hal kemampuan “menerjemahkan” pikiran seseorang, tetapi tetap tidak melebihi bahasa. Alasannya, buku-buku yang ditulis dengan bahasa sebagai lambang untuk “menerjemahkan” pemikiran tidak mungkin diganti oleh gambar, apalagi oleh lambang-lambang lainnya. Akan tetapi, demi efektifnya komunikasi, lambang-lambang tersebut sering dipadukan penggunaannya.
Dengan demikian jelaslah bahwa pikiran dan atau perasaan seseorang baru akan diketahui oleh dan akan ada dampaknya kepada orang lain apabila ditransmisikan dengan menggunakan media primer “tersebut, yakni lambang- lambang. Dengan perkataan lain, pesan (message) yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan terdiri atas isi (content) dan lambang: (symbol).
Dengan adanya globalisasi komunikasi menjadikan masyarakat pedesaan dapat pula mengakses teknologi komunikasi seperti hand phone menjadikan masyarakat pedesaan mengalami pergeseran dalam perilaku komunikasinya yang semakin praktis dalam perilaku komunikasi antar sesama
Proposisi nilai atau disebut juga dengan proposisi rasionalitas menggambarkan bahwa semakin bernilai suatu tindakan orang maka semakin besar kemungkinan tindakan tersebut akan diulang-ulang agar tindakan tersebut lebih bernilai. Penggunaan media dalam berkomunikasi bisa dianggap lebih bernilai ekonomis dimana menghemat ongkos pertemuan tatap muka dan waktu, oleh karenanya handphone maupun internet dianggap lebih efektif dan efisien sehingga sangat fungsional secara ekonomi.
Proposisi deprivasi-satiasi mengandung pengertian bahwa semakin sering seseorang menerima ganjaran-ganjaran ynag istimewa maka ganjaran-ganjaran berikutnya semakin kurang bermakna karena terjadi kejenuhan. Proposisi persetujuan dan perlawanan mengandung pengertian sebagai berikut.
1. Jika tindakan seseorang tidak mendatangkan ganjaran (reward) sebagaimana dia harapkan atau sebaliknya, yaitu malah memperoleh hukuman yang tidak dia harapkan maka dia akan marah, melawan ataupun melakukan tindakan-tindakan agresif lainnya. Dan baginya, akibat yang timbul dari tindakan amarah atau tindakan brutal lainnya justru dianggap lebih berharga atau bermakna baginya, sekalipun sesungguhnya bisa merugikan.
2. Jika tindakan seseorang mendatangkan seperti yang dia harapkan atau bahkan lebih besar atau tidak mendatangkan hukuman sebagaimana dia duga dan harapkan maka dia akan merasa senang. Selanjutnya, semakin besar kemungkinan dia melakukan tindakan-tindakan, seperti yang pernah dia lakukan sebelumnya. Dan tindakan tersebut dianggap sangat bernilai baginya.
     Perspektif pertukaran sosial lebih banyak menggambarkan saling manfaat yang bisa diperoleh dalam hubungan antara globalisasi komunikasi dengan pergeseran perilaku komunikasi masyarakat. Keuntungan atau saling manfaat yang diperoleh itu bersifat memberikan kemudahan dalam berkomunikasi tanpa harus selalu pertemuan tatap muka sehingga dapat mengurangi biaya penggunaan ruang dan waktu. Meskipun di sisi lain mengakibatkan intensitas pertemuan secara langsung yang diharapkan lebih mempererat tali silahturahmi lebih tergantikan peran teknologi komunikasi sebagai media penyampai kabar.

DAFTAR PUSTAKA.

Ritzer, George. (1980). Sociology A Multiple Paradigma Science. Revised Edition. Allyn and Bacon, Inc.
Zamroni. (1992). Pengantar Pengembangan Teori Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.

MODAL SOSIAL DALAM PERSPEKTIF PILIHAN RASIONAL

 OLEH : RIFQI K. ANAM
Perusahaan memilioki banyak sumber daya yang harus dimaksimalkan untuk mencapai tujuan, begitu pula perusahaan memiliki sumber daya yang harus dikontrol dan dimanfaatkan. Modal sosial termasuk salah satu sumber daya yang harus bisa dimanfaatkan tersebut artinya perusahaan mempunyai kepentingan dengan rasionalitasnya untuk mengembangkan modal sosial dalam perusahaannya sehingga berimplikasi pada peningkatan produktivitas. Secara epistemologis perusahaan mengembangkan pilihan untuk tujuan yang hendak dicapai yaitu peningkatan produktivitas kerja karyawan lewat alat alternatif yang ada seperti uang (modal finasial), pabrik (modal fisik) maupun kerjasama yang dapat meningkatkan produktivitas, sumber daya tersebut menjadi alat untuk mencapai tujuan perusahaan. Maka dapat di skemakan pengejawantahan modal sosial dalam perusahaan sebagai alat dalam pencapaian tujuan berdasar teori pilihan rasional.
Kita dapat menarik benang merah antara modal sosial dan teori pilihan rasional dalam skema diatas, misalkan aktor A seorang karyawan yang mengelola K3 atau Kesehatan, Keselamatan Kerja sehingga memiliki akses langsung dengan karyawan lapang artinya memiliki jaringan luas di kalngan pekerja lapang sedangkan aktor B adalah karyawan bagian Lingkungan, pada suatu waktu kedunya bertemu ketika makan siang dan membicarakan masalah pekerja kasar berkaitan lingkungan seperti kurangnya pohon rindang untuk berteduh bagi pekerja, keduanya kemudian melakukan kerja sama sehingga muncul perilaku kolektif antara keduanya yang mana kerjasama tersebut bagi kedua belah pihak memberikan arti baru yaitu terdapat nilai dan norma yang harus ditepati sehingga terdapat kepercayaan dan jaringan antara keduanya, di dalam kerjasama tersebut muncul perilaku kolektif untuk menggapai tujuan bersama tetapi tetap tidak bisa dinafikan tujuan aktor A dan B tersebut selalu terarah pada tujuan individu yang hendak dicapai.
Struktur sosial yang muncul yang menyangkut A dan B menghasilkan ikatan atau jaringan potensial bagi masing-masing yang sewaktu-aktu dapat diaktifkan. Dalam pengertian ini, modal sosial potensial pada A dan B, yang terdapat pada bagan teori ditulis dengan Ab dan Ba . Modal sosial potensial ini didasarkan pada struktur yang ada antara A dan B sebagai sesama karyawan perusahaan, potensi modal sosial ini dapat diaktualisasikan aktor A dengan menggunakan jaringannya untuk bekerja sama dengan B, yang diharapkan membantu A mencapai tujuannya.
Kalau Ab dan Ba membentuk organisasi atau bekerjasama dalam kelompok (AbBa) untuk mencapai tujuan bersama, maka wujud modal sosial yang potensial dapat muncul adalah solidaritas sosial, kekompakan, saling percaya, norma, nilai, persahabatan, yang bersumber pada struktur sosial AB. Kelompok tersebut dapat mensinerjikan modal sosial dengan modal sosial itu dengan modal-modal lainnya untuk mencapai tujuan.
Proses kalkulasi aktor A dan B untuk melakukan kerjasama memberikan tempat teduh bagi karyawan lapang merupakan aspek pilihan yang ada pada teori pilihan rasional jadi aktor berusaha memaksimalkan keuntungan (misal kepopuleran) dengan alat yang lebih efektif dan efisien yaitu dengan kerjasama dengan aktor B sedangkan proses kepercayaan, menjaga norma, dan jaringan yang muncul dari kerjasama A dan B tersebut merupakan modal sosial, sebagai salah satu sumber daya untuk menangani permasalahan yang ada selain modal finansial maupun modal fisik.
Kaitan modal sosial dengan pilihan rasional harus dimaknai dengan kerangka alat tujuan, tujuan yang hendak diperoleh karyawan disini adalah mendapatkan peningkatan produktivitas kerja karyawan oleh karena itu terdapat beberapa alternatif cara yang dapat ditempuh untuk memaksimalkan, seperti meningkatkan jaringan antar karyawan, memiliki kepercayaan antar karyawan sehingga dapat mengurangi kerumitan dalam bekerja, serta tumbuh subur norma di lingkungan kerja yang dimiliki suatu kelompok sehingga dapat mengeratkan kerja sama diantara mereka dan berdampak positif bagi mereka danperusahaan (modal sosial). Tujuan yang hendak dicapai menggunakan alat atau cara yang telah dikalkukasi seefisien dan seefektif mungkin berdasarkan rasionalitas yang ada, dalam kehidupan perusahaan tindakan rasional aktor didasarka rasionalitas praktis yang berupa efisiensi dan efektifitas seperti bertindak dengan mencari biaya semurah-murahnya dan tempo secepat-cepatnya dalam mencapai tujuan. Dalam rangka mencapi efisiensi dan efektifitas itu modal sosial menjadi alternatif untuk disinerjikan dengan modal-modal lainnya yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas.

HERMENEUTIKA FAKTISITAS HEIDEGGER

OLEH : RIFQI K. ANAM
A. Latar Belakang Teoritisi
Martin Heidegger (lahir di Meßkirch, Jerman, 26 September 1889 – meninggal 26 Mei 1976 pada umur 86 tahun) adalah seorang filsuf asal Jerman.. Heidegger dilahirkan di sebuah keluarga desa di Meßkirch, Jerman, dan diharapkan kelak menjadi seorang pendeta. Keluarganya tidak cukup kaya untuk mengirimnya ke universitas, dan ia membutuhkan bea siswa. Untuk maksud tersebut, ia harus belajar agama. Di masa remajanya, ia dipengaruhi oleh Aristoteles yang dikenalnya lewat teologi Kristen. Ketika ia belajar sebagai mahasiswa, ia meninggalkan teologi dan beralih kepada filsafat, karena ia menemukan sumber pendanaan lain untuk studinya
Heidegger mulanya adalah seorang pengikut fenomenologi. Secara sederhana, kaum fenomenolog menghampiri filsafat dengan berusaha memahami pengalaman tanpa diperantarai oleh pengetahuan sebelumnya dan asumsi-asumsi teoretis abstrak. Edmund Husserl adalah pendiri dan tokoh utama aliran ini, sementara Heidegger adalah mahasiswanya dan hal inilah yang meyakinkan Heidegger untuk menjadi seorang fenomenolog. Heidegger menjadi tertarik akan pertanyaan tentang "Ada". Karyanya yang terkenal Being and Time (Ada dan Waktu) dicirikan sebagai sebuah ontologi fenomenologis. Gagasan tentang Ada berasal dari Parmenides dan secara tradisional merupakan salah satu pemikiran utama dari filsafat Barat. Persoalan tentang keberadaan dihidupkan kembali oleh Heidegger setelah memudar karena pengaruh tradisi metafisika dariPlato hingga Descartes, dan belakangan ini pada Masa Pencerahan. Heidegger berusaha mendasarkan ada di dalam waktu, dan dengan demikian menemukan hakikat atau makna yang sesungguhnya dalam artian kemampuannya untuk kita pahami.
B. Being and Time
Karya terpenting Heidegger adalah Being and Time (German Sein und Zeit, 1927). Menjadi pokok pikiran adalah ada, apa yang diartikan ada? apa maknanya bila sesuatu entitas dikatakan ada? Pertanyaan ini adalah satu pertanyaan mendasar dalam caakupan wilayah ontologi. Dalam pendekatannya Heidegger terpisah dari tradisi Aristotelian dan Kantian yang mendekati pertanyaan itu dari sudut pandang logika. Secara implisit mereka mengatakan bahwa pengetahuan teoritis mewakili relasi mendasar antara individu dan ada di dunia sekitarnya (mencakup juga dirinya sendiri).
Didasari kelalaian paling mendasar para filsuf selama perjalanan filsafat adalah lupa akan Ada. Rene Descartes telah menemukan cogito dan mempostulatkan cogito ergo sum, tapi ia tidak pernah mempertanyakan sum (ada) itu sendiri. Ada selalu diandaikan begitu saja, tanpa pernah dipertanyakan. Kesadaran bukanlah segala-galanya, melainkan hanya salah satu bentuk penyingkapan Ada. Bukan kesadaran yang menentukan Ada, melainkan Ada yang menentukan kesadaran. Demikianlah Heidegger memulai proyek filsafatnya, dari pertanyaan tentang Ada.
Heidegger menolak tesis ini dengan mengawali pendekatannya dari fenomena keterlibatan yang disebutnya sebagai sorge. Perilaku manusia adalah sebuah keterlibatan secara aktif dengan objek keseharian di sekelilingnya. Dia bukan seorang pengamat pasif yang mengambil jarak dari dunianya. Pendaatnya ini sekaligus sebuah kritik bagi pemikiran Cartesian yang mengagungkan "aku" sebagai objek berpikir murni yang terpisah dari dunianya. Heidegger mengritik pernyataan terkenal Descartes aku berpikir maka aku ada yang terlalu menekankan pada aku berpikir dan lupa bahwa seharusnya aku ada terlebih dahulu barulah kemudian aku bisa berpikir. Fakta mendasar dari eksistensi manusia adalah bahwa kita telah 'ada di dalam dunia'. Dunia adalah karakter dari ada di dalam dunia, yang selanjutnya disebut dengan das sein.
Persoalan yang diangkat dalam hal ini adalah “historisitas”. Menurut Heidegger, Heidegger berusaha mengatasi filsafat modern yang berpoporos pada kesadaran atau subyektivitas. Misalnya dalam Descartes, kenyataan atau ada itu diciptakan oleh kesadaran. Jika aku menyadari danau di luar diriku maka danau itu ada. Pandangan semacam ini yang ditolak Heidegger. Kesadaran yang ditemukan Descartes itu bukanlah segala-galanya sebagaimana dipikirkan oleh Descartes, melainkan hanyalah salah satu cara Ada menampakkan diri dalam sejarah Ada (historisitas Ada). Apa itu sejarah Ada? Kita harus membayangkan seluruh manusia dan alam semesta ini sebagai suatu cerita tentang penampakan diri Ada dalam berbagai maknanya. Dalam penggalan tertentu yang kita sebut ‘zaman modern’, Ada lebih ditangkap sebagai kesadaran atau subyektivitas. Tetapi ini tidak berlaku untuk segala zaman. Heidegger menawarkan strategi lain dalam mendekati fenomen kesadaran: membuka diri terhadap Ada dan membiarkan Ada tampak apa adanya. Karena itu fenomenologi tidak sekedar untuk membuka kesadaran manusia belaka tapi juga sebagai sarana umtuk mendekati Ada dalam seluruh faktisitas dan historisitasnya.
C. Pengaruh Fenomenologi Husserl
Heidegger menyebut metode fenomenologinya sebagai “hermeneutik”. Terdapat kaitan erat fenomenologi Husserl dengan Hermeneutika Heidegger dan penting dimengerti redefinisi Heidegger tentang fernomenologi. Heidegger kembali pada akar kata fenomenologi. Fenomenologi berasal dari akar kata Yunani yang merupakan kombinasi kata polimorfemik phainomenon atau phainesthai dan logos. Phainomenon/phainesthai berarti yang menampakkan diri, sesuatu yang termanifestasikan, atau tampak apa adanya. Sedangkan logos, oleh Heidegger, tidak diartikan sebagai ‘nalar’ atau ‘landasan’. Logos lebih berarti fungsi pembicaraan, yang membuat nalar atau landasan tersebut menjadi mungkin. Logos mempunyai fungsi yang tersembunyi yang menunjuk pada fenomena.
Dengan demikian, kombinasi phainomenon/phainesthai dan logos berarti membiarkan benda-benda menjadi manifes sebagaimana adanya, tanpa memaksakan kategori-kategori kita sendiri pada benda-benda tersebut. Ini berarti berlawanan dengan kebiasaan yang telah ada. Bukan kita yang menunjuk benda atau realitas, tapi realitas itu sendiri yang menunjukkan dirinya kepada kita. Metode fenomenologi ini menjadi signifikan bagi teori hermeneutis. Metode ini menunjukkan bahwa interpretasi tidaklah didasarkan pada kesadaran dan kategori yang dibuat manusia, tetapi pada realitas yang menampakkan diri apa adanya. Heidegger, dalam Being and Time berusaha mendekati Ada sebagai fenomen. Maka ontologi harus menjadi fenomenologi.
Kaitannya dengan hermeneutika sebagaimana ontologi menjadi fenomenologi tentang Ada, ia juga harus menjadi hermeneutika eksistensi. Hermeneutika ini bukanlah suatu metode filologi, juga bukan metode memahami (Geisteswissenschaften) seperti yang diungkapkan Dilthey, melainkan hermeneutika yang membuka sesuatu yang tersembunyi. Ia bukan interpretasi atas interpretasi (misalnya suatu teks) melainkan kegiatan primer interpretasi yang membuka hakekat Ada. Selanjutnya, Hermeneutika menjadi “interpretasi Dasein”. Dengan demikian, pemahaman terhadap Dasein sendiri merupakan bagian yang penting dalam hermeneutika Heidegger. Akhirnya Heidegger sendiri mendefinisikan esensi hermeneutika sebagai kekuatan ontologis ‘pemahaman’ dan ‘interpretasi’ yang memungkinkan keberadaan sesuatu khususnya keberadaan Dasein dapat terungkap.
Pemikiran Heidegger sangat kental dengan nuansa fenomenologis, meskipun akhirnya Heidegger tidak mengadopsi keseluruhan dari prinsip fenomenologi yang dibangun Husserl. Kesadaran, menurut Husserl, selalu mengandaikan terarah kepada sesuatu di luarnya, intensionalitas.[1] Heidegger meradikalkan prinsip intensionalitas ini dengan mengatakan, bahwa kesadaran bukan hanya sadar akan sesuatu, yaitu memiliki isi tematis tertentu, melainkan terlebih sadar sebagai sesuatu. Kita tidak sekedar sadar akan sesuatu, melainkan sesuatu itu turut membentuk kesadaran kita. Bukan kesadaran yang lebih utama daripada Ada, melainkan Ada yang lebih utama daripada kesadaran. Kesadaran adalah cara Ada menampakkan diri. Artinya, fenomenologi Husserl lebih bersifat epistemologis karena menyangkut pengetahuan tentang dunia, sementara fenomenologi Heidegger lebih sebagai ontologi karena menyangkut kenyataan itu sendiri.[2] Heidegger menekankan, bahwa fakta keberadaan merupakan persoalan yang lebih fundamental ketimbang kesadaran dan pengetahuan manusia, sementara Husserl cenderung memandang fakta keberadaan sebagai sebuah datum keberadaan.[3] Heidegger tidak memenjara realitas dalam kesadaran subjektif, melainkan pada akhirnya realitas sendiri yang menelanjangi dirinya di hadapan subjek.
D.Realitas Kajian : MIkro Obyektif
Heidegger menggambarkan sebelum kita berpikir kita harus ada dulu baru kita berpikir, apa artinya? Eksistensi “ada” adalah sebuah realitas tetapi disini Heidegger menggunakan Hermeneutika dalam Pengertian Ontologis dengan kajian utama pada manusia.
Apa yang ditulis Heidegger sebagai hermeneutika tidak bisa dipahami dalam pengertian pemahaman yang subjektif. Hermeneutika juga bukan hanya sebuah metode pengungkapan realitas. Hermeneutika adalah hakikat keberadaan manusia yang menyingkap selubung Ada (Sein). Ia tidak berada dalam pengertian subjek-objek, dimana pemahaman tentang objek berangkat dari persepsi kategoris dalam diri subjek. Subjek tidak memahami sejauh objek tidak mengungkapkan diri. Subjek tergantung kepada pengungkapan objek. Dan sebetulnya term subjek dan objek di sini tidak tepat, sebab Dasein adalah seinde yang memiliki kemampuan yang lain. Dikatakan Dasein karena cara beradanya berbeda dengan benda-benda lain (seinde) yang ada begitu saja. Dasein berarti mengada di sana. Terdapat nuansa aktifitas dari Dasein. Dasein adalah satu-satunya seinde yang secara ontologis mampu keluar dari dirinya sendiri (Existenz) guna menguakkan adanya sendiri dan adanya seinde lainnya.
Ada tidak senantiasa menguakkan dirinya, oleh karenanya ia selalu merupakan kemungkinan, mungkin ada dan mungkin juga tiada. Oleh karena itu, pemahaman yang ditentukan oleh penyingkapan Ada, juga berada pada posisi kemungkinan, mungkin ada dan mungkin tiada. Dalam Being and Time, Heidegger mengatakan: “As understanding, Dasein projects its Being upon possibilities.”Kehidupan, pada dasarnya, berjalan di atas kemungkinan-kemungkinan. Kemungkinan-kemungkinan itu terejawantah dalam diri manusia. Manusia selalu berada di antara kemungkinan manifestasi sesuatu dan ketidak-manifestasian sesuatu. Ia tidak menguasainya, tetapi menjadi gembalanya. Manusia bukan penguasa atas apa yang ada, melainkan gembalanya,
Sekalipun Heidegger masih tidak mengidentikkan antara manusia yang menginterpretasi atau berpikir dan yang diintrepretasi atau yang dipikirkan, tetapi ia tidak bisa dipisahkan sama sekali. Intensionalitas Husserl tidak dibuang sama sekali, tapi digunakan dalam pengertian yang lain, yaitu bahwa faktisitaslah yang menjadi anutan kesadaran. Bukan kita yang menunjuk benda, tapi benda itu sendiri yang menunjukkan dirinya. Interpretasi manusia dibaca dalam pengertian ontologis karena ia merupakan hakekat manusia itu sendiri. Berpikir (menginterpretasi) adalah Dasein itu sendiri.
Berpikir, dalam pengertian Heidegger, bukan menggambarkan, bukan memvisualisasikan sesuatu di depan mata, bukan merefleksi, melainkan bertanya dan meminta keterangan, mendengarkan dengan penuh rasa hormat suara Ada, menunggu dengan bertanya dan mendengarkan Ada.
Ketika manusia berpikir lalu memahami, sesungguhnya ia tidak memenjarakan objek pemahaman. Pemahaman dipahami bukan sebagai sesuatu yang harus dimiliki, melainkan sebagai bentuk atau elemen keberadaan di dunia yang berkelanjutan. Ia bukan suatu entitas di dunia, tetapi sebagai struktur dalam keberadaan yang memungkinkan terjadinya pengalaman pemahaman aktual pada level empirik. Pemahaman adalah basis bagi keseluruhan interpretasi; ia sama aslinya dengan keberadaan seseorang dan ia ada dalam setiap prilaku interpretasi.

DAFTAR PUSTAKA
Grondin, Jean. 2007.Sejarah Hermeneutik. Jogjakarta. AR-RUZZ MEDIA
www.rumah filsafat.html diakses pada 3 Januari 2011
Darianto's Blog » SUMBANGAN HEIDEGGER KEPADA HERMENEUTIKA DALAM BEING AND TIME.htm diakses pada 3 Januari 2011