03 Februari 2011

DEKONTRUKSI RUANG PUBLIK

Oleh Rifqi. K. Anam
      Ruang publik yang normatifnya sebagai tempat partisipasi utama masyarakat di dalam proses pengaturan politik dan ekonomi adil. Apakah telah berjalan sesuai harapan? Apkah ruang publik kita saat ini hanyalah tempat dalam panggung pameran dagang dengan kepentingan ekonomis dan nilai ekonomis industri menggusurnya menjadi pasar dagang jual beli?
     Saat ini dapat di dirasakan, bahwa ruang publik kita pada dasarnya bukanlah milik masyarakat yang sesungguhnya. Ada esklusivitas dengan strata sosial yang berbeda telah menguasai ruang publik. Secara umum penguasaan ruang publik lebih didominasi oleh kepentingan kapital. Entah itu dengan bentuk legal, atau juga criminal, semuanya karena pertimbangan kapital. Misalnya seorang konglomerat dengan sangat mudah memfasilitasi ruang publik untuk menggiring masyarakat menghabiskan uangnya di ruang yang telah disediakan. Juga seorang penodong karena motif kebutuhan kapital, memaksa orang lain untuk menyerahkan harta yang dibawa.
     Selain untuk melihat peran posisi masyarakat luas dalam ruang public malahan dengan mudah menunjukkan apakah pemerintah mampu bekerja dengan baik atau tidak. Selain itu ruang publik juga menggambarkan bagaimana karakter dan budaya masyarakat secara umum. Ruang Publik yang sering dipahami oleh banyak orang adalah ruang yang disediakan untuk masyarakat. Sebagian besar beranggapan ruang tersebut adalah medium rekreatif. Orang dapat bersenang-senang di ruang tersebut tanpa kemudian memahami siapa yang berkuasa pada ruang itu. Pemahaman lama ini selayaknya harus cepat diubah, bahwa masyarakatlah yang menyiapkan ruang publik dan ada dalam kekuasaannya. Tentunya dalam hal ini tidak dengan serta merta mengabaikan peran pemerintah. Namun yang dimaksud, pemerintah harus dipaksa untuk mengikuti aspirasi masyarakat. Secara normatif, Habermas merumuskan ruang publik adalah bagian dari kehidupan sosial, di mana setiap warga negara dapat saling berargumentasi tentang berbagai masalah yang terkait dengan kehidupan publik dan kebaikan bersama, sehingga opini publik dapat terbentuk. Ruang publik ini dapat terwujud, ketika warga berkumpul bersama untuk berdiskusi masalah-masalah politik (Juergen Habermas:1989).Untuk memperkuat kepentingan masyarakat di ruang publik, perlu menjalin kembali kolektivitas masyarakat untuk berkumpul kembali secara informal inilah yang telah lama hilang di ruang publik, hingga situasinya menjadi seperti saat ini.

Daftar Pustaka
Habermas Jűrgen, 1989. The Structural Transformation of the Public Sphere, An inquiry into a category of Bourgeouis Society translated by Thomas Burger.

SEDIKIT MENEGENAL SOSIOLOGI KRITIS

OLEH RIFQI K. ANAM
1. PENDAHULUAN
Secara etimologis kritis dapat berarti pertama keadaan kritis, gawat atau genting; kedua, berarti tidak lekas percaya dan ketiga, bersifat selalu menemukan kesalahan atau kekeliruan dapat pula diartikan tajam dalam penganalisisan (Tim KUBI, 1989:466). Ber-kaitan dengan tulisan ini maka kritis lebih diarahkan pada pengertian yang kedua. Dalam bahasa Inggris kritis diambilkan dari critical sebagai contoh critical sociology, yang dimaksudkan adalah teori kritis. Teori kritis di definisikan teori yang berusaha memahami hakikat realitas yang ditentukan penindasan dan penghisapan. Teori kritis berusaha membuka kesadaran palsu masyarakat yang tujuannya menghilangkan kuasa mutlak penindasan atas manusia. Teori kritis berbeda dengan teori tradisonal yaitu teori kritis ingin membongkar dan merubah struktur penindasan dalam masyarakat (Hardiman, Francisco Budi. 1990. Hlm 10). Teori kritis selalu curiga dan mempertanyakan kondisi “status quo” di masyarakat yang kelihatannya produktif dan bagus dan tampak dipermukaan tersebut sesungguhnya terselubung struktur masyarakat yang menindas dan menipu kesadaran khalayak
Teori kritis dipandang ingin membongkar secara teoretik reflektif dan praksis atas realitas masyarakat sekarang ini. Teori Kritis disebut juga sosiologi kritis atau teori kritik masyarakat. Sebagai-mana akan utnya filsuf-filsuf hanya membicarakan saja, namun tidak mengubahnya.
2. KONTEKS SOSIO-HISTORIS
Secara sosio-historis kemunculan paradigma kritis didahului penindasannazi di jerman dimana Kepemimpinan Hitler terhadap partai Nasionalsosialis dengan ultra nasionalime sangat mengacu pada rasio dan revolusi kebebasan sehingga sangat bersikap keras dalam mempromosikan antisemitisme dan secara terang-terangan memusuhi sosialisme dan komunisme, sehingga pemerintah Jerman dapat diambil alih olehnya. Di samping itu Hitler menggunakan kekuasaanya untuk melakukan banyak tindakan-tindakan kekerasan yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.
Muncullah kemudian pemikir-pemikir sosial yang menyadari dan ingin merubah kondisi sosial yang ada, pemikir-pemikir tersebut berasumsi kondisi status quo yang ada merupakan kesadaran palsu yang diciptakan nazi sehingga harus dirubah. Teori kritis diawali Gagasan Karl Marx dalam Theses on Feuerbach. Dalam tulisan tersebut Marx menyatakan bahwa para “filsuf memberi banyak interpretasi yang berbeda terhadap dunia, namun yang terpenting adalah bagaimana mengubah dunia”. Dalam hal ini Teori Kritis menggugat kembali rasionalitas dan positivisme karena bersifat ideologis. Positivisme logis menyatakan bahwa ilmu pengetahuan atau sains modern telah direduksi secara total menjadi sistem administrasi yang semata-mata bersifat rasional dan teknologi murni.
Teori kritis Bermula dari sebuah institut di Jerman, Institut fur Sozialforschung yang didirikan pada tahun 1923 oleh seorang kapitalis yang bernama Herman Weil, seorang pedagang grosir gandum, mau melakukan sesuatu untuk mengurangi penderitaan di dunia (termasuk dalam skala mikro: penderitaan sosial dari kerakusan kapitalisme). Institut tersebut merupakan awal mula tokoh-tokoh Teori kritis memulai pemikiran-pemikirannya. . Max Horkheimer menjadi direkturnya pada tahun 1931. Theodor Adorno, Erich Fromm, Leo Lowenthal, Herbert Marcuse, dan, yang lebih jauh, Karl Korsch dan Walter Benjamin berada di antara teoretisi terkemuka dan peneliti yang terkait dengan lembaga. Awalnya, lembaga keilmuan ini berusaha untuk memperbarui teori Marxis dengan mempelajari perkembangan sosial baru seperti memperluas peran negara dalam perencanaan sosial dan kontrol. Munculnya fasisme dan runtuhnya oposisi yang efektif oleh pihak pekerja, bagaimanapun, mendorong mereka untuk menyelidiki sumber baru dan bentuk-bentuk otoriterisme dalam budaya, ideologi, dan pengembangan kepribadian dan untuk mencari kekuatan oposisi baru. Dengan menekankan pentingnya dan semiautonomy budaya, kesadaran, dan aktivisme, mereka mengembangkan versi yang inovatif, humanistik, dan terbuka teori Marxis yang menghindari reduksionisme determinisme dan kelas banyak teori Marxis yang dicirikan era mereka.
Kritik imanen'',''metode deskripsi dan evaluasi yang berasal dari Karl Marx dan Georg WF Hegel, membentuk inti pendekatan interdisipliner Sekolah Frankfurt untuk penelitian sosial. Sebagai Marxis, anggota dari Sekolah Frankfurt berkomitmen untuk sebuah proyek revolusioner emansipasi manusia. Daripada kritik yang ada pengaturan sosial dalam dari satu set nilai-nilai etika yang dipaksakan dari luar'',''Namun, mereka berusaha untuk menilai lembaga-lembaga sosial dengan lembaga-lembaga internal sendiri '(yaitu,''''imanen) dan self-nilai disertai klaim ideologis. (Contoh dari aplikasi praktis dari pendekatan semacam itu adalah sipil selatan hak-hak pergerakan tahun 1960-an, yang menilai sistem kasta rasial di Selatan dalam terang nilai-nilai Amerika mengaku demokrasi, kesetaraan, dan keadilan.) Kritik imanen sehingga membuat anggota Sekolah Frankfurt dengan sudut pandang arbitrer untuk pengujian kritis institusi sosial, sementara itu peka mereka untuk kontradiksi antara penampilan sosial dan level yang lebih dalam realitas sosial.
Teori Kritis menjadi inspirasi dari gerakan sosial kemasyarakatan. Gerakan sosial ini dipelopori oleh pemikir sosial yang pada waktu itu. Teori Kritis ini ada juga untuk melawan Teori tradisional yang afirmatif (memberikan pengertian yang lebih memuaskan tentang realitas, dengan menjadi puas karena realitas itu, jadi realitas tersebut diafirmasi dan dibenarkan), dimana Teori tradisional pada intinya ingin menciptakan sebuah pencerahan dan kebebasan agar pengetahuan berada sedekat mungkin dengan realitas atau kebenaran. Teori Kritis melihat Teori tradisional tidak berhasil dalam tujuannya dalam mencerahkan serta membebaskan manusia. “Teori Tradisonal tersebut hanya bisa mengubah pengertian kita tentang realitas, tetapi tidak mampu mengubah realitas itu sendiri.” Inilah hal yang akhirnya dikritisi oleh toko-tokoh Teori Kritis. Lebih dalamm lagi dijelaskan bahwa teori tradisional dibatasi pada kotemplasi yang artinya hanya memandang dan tidak bisa menjadi praktis dan dicoba untuk mengubah apa yang dipandang itu. antara riset substantif dan teori. Teori Kritis ingin menggabungkan kedua cabang pengetahuan tersebut ke dalam satu bentuk refleksi yang mengambil model teori sejarah Hegel. Untuk bisa mencapai hal tersebut, maka sangat diperlukan teori sejarah yang mampu menjelaskan kekuasaan efektif dari akal budi yang bersandar kepada prosesnya sendiri. Asumsi dasar dari konsep teori sejarah semacam itu berasal dari gagasan Max Horkheimer dan Herbert Marcuse yang memiliki akar tradisi pemikiran Marxis.
Tetapi berbeda dengan Marx, untuk menghadapi hal tersebut Teori Kritis lebih berfokus kepada suprastruktur dibandingkan basis ekonomi dari masyarakat. Selain itu Teori Kritis juga menekankan pandangan terhadap nilai-nilai moral, politik dan agama. Di sini dipahami bahwa Teori Kritis memiliki klaim bahwa pengetahuan bersifat relatif terhadap kepentingan manusia dan oleh sebab itu diperkenalkan suatu rentang yang luas dari kritisisme budaya ke dalam teori sosial Marxis. Teori Kritis bermaksud menelanjangi pemahaman yang keliru dan melekat tentang persepsi akal budi ideal pada kondisi sosial politik masyarakat kapitalis. Dengan demikian Teori Kritis berupaya untuk mengidentifikasi kemungkinan perubahan sosial, sekaligus mempromosikan bentuk refleksi diri dan masyarakat yang bebas dari dominasi. Dengan demikian, Gagasan dasar Teori Kritis adalah untuk menjembatani jurang teori dan realitas soial, sehingga teori kritis bertujuan emansipatoris terhadap penindasan Rasionalitas Tekhnologis terhadap manusia.
Daftar pustaka

Hardiman, Francisco Budi. 1990. Kritik Ideologi. Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta:
Kanisius
Hardiman, F. Budi. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif. Ilmu, Masyarakat, Politik &
postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius
Hardiman, Francisco Budi,. 2009. Menuju Mayarakat Komunikatif, ilmu, masyarakat, politik dan
postmodernismo menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta. Kanisus.

Mc Carty, Thomas. 2006. Teori Kritis Jurgen Habermas. Yogyakarta. Kreasi Wacana.

Manurung, Hendra. Critical Theory. Dari http://www.scribd.com/doc/4542836/CRITICAL-THEORY

FIQIH LINGKUNGAN dan PENANGGULANGAN BENCANA

Oleh: RIFQI K. ANAM

Kerusakan lingkungan hidup di mana-mana, sementara itu ancaman krisis lingkungan telah membuat prihatin semua pihak. Akhir-akhir ini angka kematian tinggi juga disebabkan oleh bencana-bencana lingkungan, selain karena kondisi kesehatan dan persoalan kelaparan. Rentetan kerusakan lingkungan terjadi dimana-mana dan kerusakan lingkungan berikutnya tinggal  menunggu di depan mata.
Kerusakan lingkungan yang paling nyata dan mulai ramai diguncingkan komunitas internasional yakni isu perubahan iklim yang menandai bencana global warming. Bukan bencana yang akan datang, tetapi sekarang sudah tampak jelas di depan mata. Glasier dan lapisan es antartika meleleh yang menyebabkan berkurangnya wilayah es di bumi. Tanggal 6 Maret 2008, bongkahan pada beting es Wilkins di Semenanjung Antartika barat daya mulai terlepas dan ambruk (Kompas, 27 Maret 2008). Kemudian, Es di Greenland yang terletak di antara Samudra Atlantik dan lautan Artik meleleh disebabkan peningkatan suhu terjadi dua kali lipat lebih banyak dari pada di belahan bumi lain. Jika sebelumnya daerah ini diliputi es, maka lambat laun akan betul-betul telanjang. Bongkahan-bongkahan es itu tidak akan mungkin kembali. Mencairnya es ini akan menyebabkan volume air di laut semakin meningkat. Hal paling nyata ancaman global warming yakni semakin naiknya permukaan laut (Koran Tempo, 17 Juli 2008)
Seperti diyakini para ahli bahwa perubahan iklim (climate change) menyebabkan banyak bencana, seperti: banjir, angin taufan, musim kemarau panjang, evaporasi air tawar, meluasnya kebakaran hutan, meledaknya penyakit hewan dan tanaman baru dan bencana-bencana lain.
Melihat dari istilah yang digunakan global warming merupakan bencana global, oleh karena itu tidak bisa dikategorikan sebagai bencana lokal maupun bencana nasional, tetapi yang pasti pihak yang akan menjadi korban dan paling banyak menderita akibat bencana ini adalah negara-negara berkembang dan masyarakat miskin di Asia, Afrika  dan Kepulauan Samudera Pasifik. Hal ini akan berakibat bahwa 75% sampai 80% biaya kerusakan akibat perubahan iklim harus dipikul negara-negara berkembang.
Bencana terjadi secara merata dan bertingkat-tingkat. Ia tidak mengenal teritorial dan struktur sosial. Ia terjadi baik bersifat global maupun lokal, desa maupun kota, kelompok yang berpenghasilan tinggi menengah dan bawah. Global warming terjadi dengan diikuti bencana-bencana lokal seperti: seperti: gempa bumi, banjir, tanah longsor, tsunami dan lain-lain.Bisa dipastikan bahwa kerusakan-kerusakan lingkungan tersebut akan menjadi “kekuatan pemusnah” kehidupan manusia di bumi. Maraknya bencana-bencana lingkungan tersebut menjadi pembunuh manusia nomor satu. Ia datang mendadak, kemudian membunuh puluhan bahkan ratusan manusia yang tidak berdosa.
Persoalan fundamental dari lingkungan sesungguhnya ditentukan beberapa karakter masyarakat yang mulai berubah, seperti dinyatakan Maftuchah Yusuf (2000) sebagai manusia bermental ”frontiers”.Mental manusia seperti di atas berinteraksi dengan watak-watak masyarakat modern, seperti : pandangan alam yang serba keberlimpahan, fanatisme terhadap teknologi, etika pertumbuhan, materialisme dan individualisme (Sunyoto Usman, 1998: 18).Hal inilah yang seperti dinyatakan Giddens dan Beck bahwa sesungguhnya persoalan lingkungan yang terjadi pada dunia global merupakan bagian dari masyarakat beresiko (the risk society). Semua kalangan menyatakan bahwa bencana lingkungan terjadi bukan karena takdir atau kehendak Tuhan semata atau konsekuensi ”berjalannya” hukum alam, sebab dominannya intervensi manusia sangat berperan besar menciptakan perubahan lingkungan ke arah degradasi tersebut.
Dengan ilmu pengetahuan teknologi, manusia melakukan perusakan lingkungan tidak secara individual, tetapi kolektif dan masif. Dengan kalimat lain, penjelasan tentang maraknya bencana bukan lagi produk manusia individu per individu, melainkan kolektivitas/kolektivisme di belahan dunia manapun. Semua penghuni bumi harus bertanggung jawab atas semakin rusaknya bumi dan tidak terawatnya kehidupan.
Pada konteks yang sama, bencana lingkungan hari ini juga bukan merupakan akibat perbuatan manusia sehari dua hari saja, tetapi melewati proses panjang pada rentang historis tertentu, yakni Revolusi Industri yang terjadi di Inggris tahun 1760-an. Pada pernyataan ini bisa ditambahkan bahwa negara-negara maju memiliki andil besar terjadinya bencana-bencana lingkungan hari ini.
Dari pemaparan di atas diperlukan gerakan nyata untuk menyelamatkan lingkungan dari kerusakan-kerusakan yang semakin parah. Lalu, siapakah pihak yang diharapkan mampu berperan pada upaya penyelamatan lingkungan itu? Mengingat begitu kompleksnya persoalan lingkungan yang terkait sangat erat dengan persoalan-persoalan lingkungan lain, seperti: ekonomi, sosial, bahkan kekuasaan.

AGAMA DALAM FIQIH LINGKUNGAN
Salah satu lembaga/institusi sosial yang diharapkan sumbangan nyatanya pada penyelamatan lingkungan adalah agama. Seiring dengan usia ummat manusia, pada masyarakat banyak ditemukan lembaga-lembaga sosial yang hidup bertahun-tahun.
Secara sosiologis, bersamaan lahirnya masyarakat, lembaga agama merupakan imperatif kategoris yang berfungsi utama memenuhi kebutuhan-kebutuhan penting masyarakat. Agama merupakan bagian dari fungsionalisme universal, sebab ditangannyalah mampu menjanjikan ketentraman, ketenangan, kejujuran dan kehidupan abadi bagi umat manusia setalah kehidupan di dunia ini. Janji-janji transedental ini yang memampukannya (enabling) untuk mengumpulkan banyak pengikut. Tidak heran jika, sebagai realitas sosial agama menghasilkan produk paling nyata, yakni : nilai-nilai, pengikut, struktur dan peradaban (Haryono, Yudhie, 2005).
Sementara itu dari isi teks, Ian G. Barbour menyatakan bahwa agama memiliki sumbangan penting pada upaya penyelematan lingkungan, Mengutip Gardner, Husain Haryanto menyatakan perlunya manusia modern merengkuh spiritualitas dan menghormati peran agama pada kehidupan sosial. Menurutnya, agama memiliki lima aset untuk menciptakan komunitas yang adil dan proses perubahan yang berkelanjutan, baik secara sosial maupun secara lingkungan, yaitu sebagai berikut :
a)    Kapasitas membentuk kosmologi (pandangan dunia) yang sejalan dengan visi ekologis.
b)    Otoritas moral
c)    Basis pengikut yang besar
d)    Sumber daya materi yang signifikan
e)    Kapasitas membangun komunitas.
Dari berkumpulnya sejumlah sumber daya (resources) di atas, agama yang sesungguhnya diharap banyak berperan pada upaya penyelamatan lingkungan, sayangnya, selama ini belum banyak memberikan sumbangan. Justru peran-peran ini banyak dimainkan CSO (Civil Society Organization) yang berideologi hijau. Sekalipun untuk gerakan sosial, agama efektif sebagai “dasar-dasar ideologis”  kelompok-kelompok kepentingan (interest groups), tetapi CSO yang berlabelkan agama juga tidak banyak.
Agama dikaji sebagai isu-isu normatif dan etik yang seringkali apologetik, bukan sebagai ideologi praksis yang mampu menggerakan perubahan sosial. Jika demikian halnya, bisa dikatakan sama halnya tidak merekonstruksi Islam sebagai gagasan, tetapi hanya melakukan repetisi ajaran tentang kebaikan yang tidak usah dipertanyakan (taken for granted assumption). Tidak banyak panduan-panduan penyelamatan lingkungan yang berbasis nilai-nilai agama.
Peluang untuk meningkatkan keterlibatan agama untuk penyelamatan lingkungan masih terbuka lebar. Maraknya paradigma gerakan sosial baru (new social movement) yang tidak lagi membuat sekat-sekat antarisu gerakan. Aktivis yang masuk pada gerakan juga tidak harus mereka yang memiliki ideologi tertentu, tetapi kesamaan tujuan bisa menyatukan kepentingan pragmatis masing-masing. Hal ini berarti  isu ekologis bisa melakukan interkoneksitas dengan isu-isu lain, baik isu gender, etnis, ras, feminisme, ras dan lain-lain.Kelenturan gerakan lingkungan semacam ini juga tidak terjebak pada isu-isu sektarian yang terkotak atas nama agama. Semua kelompok bisa dimobilisir untuk upaya-upaya penyelamatan lingkungan.


Referensi

Yusuf, Maftuchah, 2000, Pendidikan Kependudukan dan Etika Lingkungan, Lembaga Studi dan Inovasi Pendidikan, Yogyakarta
Chapman, Audrey R. dkk, 2007, Bumi yang Terdesak; Perspektif Ilmu dan Agama mengenai Konsumsi, Populasi dan Keberlanjutan, Mizan bekerja sama Center for Religius and Cross  Cultural Studies Graduate Program, Gadjah Mada University,
Usman, Sunyoto, 1998, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Pustaka Pelajar: Jogjakarta
Yudhie, Haryono, 2005, Melawan dengan Teks, Resist Book: Jogjakarta

PERCIKAN PEMIKIRAN HEGEL

OLEH : RIFQI K. ANAM
Konteks dalam pendahuluan ini adalah mengenai latar sosio-historis dan filsafat Hegel, kita mulai dari sosio-historis yang melatar belakangi idealisme Hegel yaitu kondisi Jerman pada abad-17 yang mengalami kemerosotan moral yang disebabkan despotisme1. despotisme yang hampir terjadi di semua wilayah dibantu dengan kekuatan militer semakin menyengsarakan rakyat.
Pada abad yang sama terjadi revolusi di perancis yang tidak hanya menghapuskan absolutisme feodal, menggantikannya dengan system politik kelas menengah juga memberikan hak manusia untuk hidup tidak tergantung otoritas eksternal melainkan pada aktifitas rasionalnya sendiri yang merdeka.konsep rasio (reason) mempunyai kedudukan sentral dalam filsafat Hegel. Ia berpendapat bahwa pemikiran filsafat tidak mensyaratkan sesuatu di luar jangkauannya, bahwa sejarah berhubungan dengan rasio, bahwa sejarah berhubungan dengan rasio dan hanya dengan rasio, dan bahwa Negara adalah perwujudan dari rasio. Namun demikian, pernyataan ini tidak dapat dipahami jika rasio ditafsirkan sebagai konsep metafisik murnikarena ide Hegel tentang rasio, meskipun dalam bentuk idealistiknya, mencakup barbagai upaya material untuk membangun tatanan kehidupan yang bebas dan rasional.
Seperti yang dikatakan Hegel mengenai perkembangan rasio “Tidak ada yang bisa disebut rasio jika bukan hasil dari pemikiran”. Manusia perlu membentuk realitas menurut tuntutan pemerintah rasionalnya yang bebas, bukannya mengakomodasikan pemikirannya dengan tatanan yang ada serta nilai-nilai yang mapan. Manusia adalah makhluk yang berpikir. Rasio memungkinkan manusi untuk menyadari potensinya.
Menurut Hegel, Revolusi perancis menggemakan kekuasaan rasio di atas realitas. Oleh karena itu jerman-pun harus lebih meningkatkan penggunaan rasio untuk melakukan perubahan sosial yang ada. Rasio manusia akan mengarahkan realitas merupakan gagasan pertama yang dikumandangkan Hegel berkaitan analisa keadaan sosial masyarakat jerman pada masa itu.
Namun demikian, implikasi yang segera ditunjukkan keberadaan penggunaan rasio berlebih adalah rasio menjadi dogma baru yang tidak didukung jalannya sejarah. Karena keterlalu yakinnya hegel pada rasio sehingga beliau menyatakan “potensi yang disebut manusia dengan dirinya, berada di atas kematian dan kehancuran,…mampu membuat keputusan bagi dirinya sendiri. Ia memproklamirkan diri seagai rasio. Kemampuannya membuat hokum tidak tergantung pada lainnya, ia juga tidak bias mengambil standarnya dari otoritas lain yang ada di bumi dan langit(halaman6).”
Latar filsafat Hegel bersumber dari Descartes yang mengagunggan penggunakan rasio/nalar dalam melakukan adaptasi terhadap alam sehingga menjadi pemilik alam. Filsafat Hegel dengan demikian, adalah suatu system yang memasukkan semua dunia ada (world of being) di bawah ide rasio yang bersifat mencakup keseluruhan. Dunia organic dan anorganik, alam dan masyarakat, disini berada di bawah otoritas rasio.
Filsafat Hegel adalah filsafat negatif, filsafat ini didorong oleh keyakinan bahwa fakta-fakta yang telah ada, yang hadir dihadapan akal sebagai indeks positif dari progresifitas kebenaran, yang dipertanyakan disini adalah negasi dari kebenaran yang dianut positifitas ini, kebenaran dibangun dengan menghancurkan fakta-fakta positif ini. Kekuatan penggerakdari dialektika hegel adalah pada kritis terhadap kondisi masyarakat. Dialektika dalam segala konsepsinya terkait dengan semua bentuk wujud yang diserap oleh suatu negatifitas yang esensial, yang menentukan isi dan gerakan bentuk-bentuk tersebut.
Filsafat hegel menunjukkan lima tahap perkembangan yang berbeda-beda:
  1. Periode dari tahun 1790-1800 menandai upaya-upaya untuk merumuskan dasar relijius bagi filsafat. Dicontohkan kumpulan tulisan pada periode ini, Theologische Jugendschriften.
  2. 1800-1810 adalah masa-masa perumusan stand point filsafat Hegel dan minatnya melalui diskusi kritis tentang system filsafat kontemporer, terutama system yang dikembangkan oleh Kant, Fichte, dan Schelling. Karya utama pada periode ini adalah differenz des Fichteschen und Schellingschen Systems der Philosophie, Galuben und Wissen.
  3. Tahun 1810-1816 ia mambangun system Jenenser, benih dari keseluruhan system Hegel. Dengan karya Jenenser Logik und Metaphysik.
  4. 1807, publikasi Phenomenology of Ruh.
  5. Periode dari system Hegel terakhir, yang diawali sekitar tahun 1808-1811 di mana ia menullis Philosophische Propiideutik.
Menuju system filsafat Hegel (1800-1802) merupakan awal mengetahui perjalanan sejarah pemikiran Hegel menuju revolusi manusia. Konsep pertama yang digunakan Hegel dalam reinterpretasinya dialektiknya adalah rasio. Sebagai starting point filsafat Hegel melihat perbedaan pemahan dengan rasio dimana pemahaman adalah memahami dunia entitas yang terbatas, dibatasi prinsip identitas dan oposisi. Setiap benda identik dengan dirinya dan bukan dengan benda lain, menggunakan prinsip keberbedaan dari benda, karena adanya identitas diri, berbeda satu sama lain. Mekanisme pemahaman dengan demikian, membagi dunia menjadi polaritas tak berhingga, dan Hegel menggunakan refleksi yang terpisah (isolated reflection) untuk mensifati cara dimana pemahaman membentuk dan menghubungkan konsep-konsep kutubnya.
Berbeda dengan pemahaman , rasio digerakkan oleh kebutuhan ‘untuk menemukan kembali totalitas’. Ini dilakukan dengan menghilangkan kepastian semu yang berasal dari persepsi danmanipulasi pemahaman. Cara pandang pemikiran awam adalah cara pandang ‘ketidakperbedaan’ dan ‘kepastian’ dan ‘ketiadaperbedaan tentang kepastian’.
Hanya totalitas dari konsep-konsep dan kognisi yang merepresentasikan yang absolute. Oleh karena itu, rasio, sepernuhnya ada di hadapan kita hanya dalam bentuk ‘organisasi proposisi dan intuisi’ yang mencakup keseluruhan, yaitu, sebagai suatu system. Disini dalam karya awal Hegel yang pertama, ia sengaja menekankan fungsi negative dari rasio: untuk menumbangkan dunia pemikiran awam dan pemahaman yang bersifat pasti. Rasio mengacu pada ‘penihilan absolut’ dari dunia pemikiran awam. Karena, seperti telah diulas dalam bukunya bahwa penolakan terhadap pemikiran awam adalah awal dari pemikiran spekulatif.
Hegel merumuskan dialektikanya bahwa terdapat Triplizitiit bentuk sebenarnya dari pemikiran. Ia tidak menyatakan sebagai konteks kosong dari tesis, antithesis, dan sitesis, tetapi sebagai suatu kesatuan dinamis yang bertentangan. Ia adalah bentuk pemikiran sejatikarena itu adalah bentuk sejati realitas di mana setiap ada makhluk adalah kesatuan sintetis dari kondisi yang antagonis.
Daftar Pustaka
Marcuse, Herbert. 1969. Judul asli reason and Evolution Hegel And the Rise Of Social Theory (terjemahan Rasio & Revolusi menyuguhkan kembali Doktrin Hegel Untuk Umum) : . Yogyakarta. PUSTAKA PELAJAR.
1 Paham yang menganggap manusia tidak menjadi subyek dalam masyarakat dan semua keputusan mengenai banyak hal diambil berdasarkan teologi tanpa penggunaan rasio.

MC DONALDISASI MASYARAKAT

OLEH : RIFQI K. ANAM
    McDonald menjadi awal Perkembangan industri pangan (food industry) dewasa ini, ditandai dengan menjamurnya berbagai restoran siap saji diseluruh penjuru dunia. Saat ini hampir tidak ada kota yang tidak disinggahi oleh McDonald’s. Hal ini merupakan bentuk dari hegemoni McDonaldisasi global yang mencengkram seluruh sendi-sendi kehidupan. Fenomena yang berkembang dalam masyarakat pasca diperkenalkan Mc Donald ternyata tidak hanya sebagai implikasi praktis dari kapitalisme tetapi juga menyerang pada tingkat kesadaran. McDonaldisasi memberikan kecenderungan terjadinya perubahan pola pikir individu menjadi individu yang kalkulatif segalanya dihitung berdasarkan prinsip efektivitas dan efisiensi. Semakin menggerus atau bahkan menegativkan nilai-nilai transendental maupun humanitas semuanya didasarkan pada rasional instrumental.
     Tulisan ini bermaksud merefleksi secara kritis prinsip Mcdonalds yang merupakan restoran makanan cepat saji menjadi prinsip lebih banyak sektor kehidupan di Amerika serta di pelbagai belahan dunia lain1 dimana terjadi proses penciptaan norma baru di masyarakat bahwa manusia membutuhkan segala sesuatunya berdasarkan prinsip kalkulatif, untung-rugi berdasar pertimbangan efektif dan efisien. Manusia dianggap sama seperti produk yang. Segalanya Instrumentalisas dimana manusia dipandang dan dihargai sejauh dapat dikuasai, digunakan, diperalat, dimanipulasi dan ditangani dibuang bila sudah tidak berguna. Benar-benar berdasar prinsip efektif dan efesiensi dalam memandang hubungan antar manusia.
McDonaldisasi menjadikan manusia-manusia kalkulatif yang melakukan proses sosial atas dasar efektif dan efisien, sebagaimana empat Pilar McDonalds yang antara lain:
1. Efisiensi
2. Daya Hitung
3. Daya Prediksi, dan,
4. Kontrol
    Pengejawantahan dari pilar McDonaldisasi tersebut antara lain manusia modern memiliki sikap efisien artinya bagaimana individu harus melihat sebuah metode optimal bagi perolehan dari satu tujuan. Ini mengindikasikan rasional yang digunakan hanya rasional instrumental yang mentoleransi segala macam cara selama inti rasional. Daya hitung, manusia dilihat dari keberfungsiannya sehingga dipekerjakan seperti mesin dan ketika sudah tidak berguna akan dibuang. Daya prediksi disini berarti manusia selalu dibentuk mengikuti kondisi yang ada. Daya kontrol disini artinya manusia diperlakukan seperti mesin dengan kontrol teknologi yang melekat padanya dimana manusia keberadaannya disamakan dengan mesin seperti berapa jam bekerja? masuk kerja jam berapa? Dimana tanpa tanpa adanya proses dialektika antar manusia.
Pada saat yang sama dan dengan alasan yang sama, perusahaan ini rasional menghasilkan pola pikiran dan perilaku yang dibenarkan dan membebaskan bahkan merusak dan menindas banyak fitur dari perusahaan. Rasionalitas Ilmiah dan manipulasi bersama menjadi bentuk-bentuk baru kontrol sosial.
Kuantifikasi alam (termasuk manusia didalamnya), yang menyebabkan dominasi rasionalitas atas manusia dimana semua penjelasan didasarkan melalui struktur matematika, memisahkan realitas dari semua berakhir melekat dari padanya akibatnya, memisahkan benar baik rasional formal dan etika. Rasionalitas formal membuat orang menjadi memiliki sejumlah kecil pilihan sarana bagi pencapaian tujuan akhiryang terjadi pilihan masyarakat diarahkan kepada proses homogenisasi yang dianggap sebagai suatu bentuk pilihan optimal. Akhirnya yang muncul adalah Satu-Dimensi manusia yang seolah tidak mempunyai alternatif untuk melakukan hal yang lain dari yang ditawarkan dan ditetapkan secara totalitarianis (baca: menyeluruh). Sehingga yang muncul adalah watak-watak kalkulatif, ketika dirasa menguntungkan maka dilakukan dan bila tidak menguntungkan akan diabaikan, individu menjadi malas berpikir untuk hal-hal yang baru, acuh tak acuh, tidak mau tahu dengan keadaan yang lainnya dan cenderung untuk tidak peduli sama sekali dengan pergumulan yang sedang terjadi dalam masyarakatnya Masyarakat modern penuh dengan syarat, tuntutan, kewajiban atau keharusan. Manusia yang hidup di dalamnya seolah tidak punya alternatif lain, oleh karena itu ia hanya mampu untuk hidup dalam satu dimensi saja

1 Ritzer, G. 2002. Ketika Kapitalisme Berjingkrang, Telah Kritis Terhadap Gelombang McDonaldisasi. Hal. 2
 
Daftar Pustaka
Ritzer, Goerge. 2002. Ketika Kapitalisme Berjingkrang, Telah Kritis Terhadap Gelombang McDonaldisasi. Jogjakarta. Pustaka Pelajar.


SEMANGAT RESOLUSI DI TAHUN BARU

OLEH : RIFQI K. ANAM
     Tahun baru adalah saat berakhirnya masa satu tahun dan menandai dimulainya hitungan tahun selanjutnya (http://www.irib.com). Dalam pengertian lain tahun baru adalah saat kita harus bertransformasi ke bentuk yang lebih baik dari tahun sebelumnya. Perubahan tahun menyiratkan kita pada perenungan mendalam apa yang telah terjadi pada tahun 2011 bahwa banyak kepedihan yang dialami seperti, krisis ekonomi yang mengakibatkan degradasi moral, kegagalan dalam karir, kekecewaan terhadap kondisi diri dan masyarakat sampai musibah bencana alam yang dating silih berganti, meskipun di lain sisi kita juga mengalami Kemenangan, kelulusan, prestasi, dan berbagai kesuksesan lain yang membuat hidup kita memiliki dinamikanya sendiri
      Dalam konteks keindonesiaan resolusi perubahan di tahun yang baru adalah membumikan mimpi besar yang dimiliki bangsa Indonesia untuk dapat sejajar dan bersaing dalam percaturan ekonomi politik internasionalyang juga merupakan semangat yang harus disongsong menghadapi tahun baru ini. Saat ini, dengan munculnya global common interest seperti pembangunan sosial, pemberantasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, memperkokoh solidaritas global maupun lokal, mempererat integrasi sosial, bahkan sampai pada penangkalan bersama terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia dan terorisme dalam berbagai bentuknya. Semangat resolusi harus secara bersama-sama digalang oleh seluruh elemen yang bernadikan pancasila.
      Obsesi membawa indonesia ketingkat internasional menjadi semangat menuju resolusi(sebuah pencapaian) baru di tahun 2011 sehingga mencapai posisi sebagai bangsa besar yang diakui oleh bangsa lain. Semangaat untuk mencapai resolsi yang lebih baikk untuk Indonesia merupakan tanggung jawab kita semua sebagai generasi muda penerus bangsa dan agen perubahan bangsa, sehingga tidakbisa dinafikan kita adalah katalisator utama dalam perubahan menuju bangsa yang besar. Layaknya membumikan kembali mimpi para founding father Indonesia seperti bung Karno dan Bung hatta meningkatkan derajat bangsa ke taraf internasional, kita sebagai generasi muda harus menjadi ujung tombak resolusi Indonesia 2011.
      Ditengah berbagai tuntutan zaman yang meminta kita untuk responsif dan apresiatif dalam menyikapi setiap perubahan yang ada sudah menjadi kemutlakan bagi setiap umat yang menginginkan adanya perubahan dan kemajuan di segala sektor kehidupan merupakan semangat resolusi yang harus dipupuk dan disuburkan sebagaimana amanat Pancasila, sila kelima yang berbunyi “kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia” artinya perlu ada revitalisasi di berbagai sektor untuk mencapai kesejahteraan yang mana pada tataran selanjutnya masyarakat Indonesia akan mendapat kesejahteraan yang merata sehingga tidak terjadi konglomerasi capital.
      Mengutip proposisi nilai dari George C. Homans (Homans dalam Ritzer, 2007:364) menjelaskan semakin bernilai suatu hal makin besar kemungkinan aktor melakukan hal yang bernilai tersebut, jadi dengan semangat tahun baru kita songsong sebagai semangat resolusi Indonesia karna saat pergantian tahun adalah moment dimana kita harus bisa mengambil ibrah dari pengalaman tahun sebelumnya artinya pergantian tahun merupakan nilai yang sangat fundamental bagi perkembangan suatu bangsa. kesuksesan bukan peristiwa, sukses adalah proses berkelanjutan yang kita lakukan berulang kali, kedepannya keksuksesan bangsa ditentukan sepakterjang generasi mudanya. Kalau generasi mudanya mampu menempa diri dengan spirit keindonesiaan sehingga terbentuk karakter-karakter manusia intelektual, spiritual, nalar sosial dan memiliki loyalitas membangun bangsa dan negara. Maka lahirlah Pemuda harapan bangsa yang benar-benar mampu menjadikan dirinya sebagai garda depan perubahan sekaligus pemegang tongkat estafet dari para Founding Fathers bangsa ini yang bersusah payah merumuskan Indonesia sebagai negara yang Bhineka Tunggal Ika.
      Sebagai penutup, dalam percaturan peradaban dunia yang cepat peran generasi muda semakin penting mengingat dari gerak energik generasi muda akan muncul gagasan-gagasan baru nan cerdas untuk membawa bangsa melejit ke tingkat dunia, semangat tahun baru diharapkan membakar semangat pembaharuan dan perubahan bagi warna dan gerak bangsa menuju arah yang lebih positif sehingga hakikat menjadi bangsa mandiri dan besar menjadi kenyataan.
      Dengan semangat tahun baru kita berbenah menjadi bangsa yang lebih baik dan memiliki kualitas sebagai bangsa besar agar bisa memberikan arti dan tujuan kita sebagai bhineka tungga ika sehingga kita memilki semangat tinggi untuk membangun bangsa. Kepedihan dari kegagalan, masalah, dan musibah yang kita alami di tahun yang lalu tidak perlu kita ingat lagi. Yang perlu kita ingat adalah pelajaran yang bisa kita petik dari pengalaman-pengalaman tersebut. Tahun ini, dengan semangat baru, kita bisa membuka lembaran baru untuk bangkit kembali meraih kemenangan. Sukses untuk kita semua. SelamatTahunBaru.

INTEGRASI HUBUNGAN INDIVIDU dan MASYARAKAT

OLEH : RIFQI K. ANAM
     Masalah yang kerap melanda teoritisi sosial dari Emile Durkheim hingga Erving Goffman adalah terjebak pada subyektifisme (gejala individu sebagai penjelas keseluruhan) atau obyektivisme (gejala keseluruhan sebagai penjelas kondisi individu). Hal ini yang kemudian menjadikan penindasan struktur atas individu atau individu lepas dari struktur. padahal permasalahan yang harus dikaji adalah melihat dualitas antara individu dan struktur karena praktik sosial individu yang membentuk struktur dan struk yang memberdayakan praktik sosial individu selain mengekangnya.
     Mengkaji berbagai macam diskursus paradigmatik tentang individu dan masyarakat dari para tokoh sosiolog maka untuk melihat titik temu diantara beberapa pandangan diatas perlu pemahaman integratif guna memeta-teorikan beragam  paradigma yang ada, salah satu sosiolog yang menngintegrasikan beragama paradigma tersebut adalah Sosiolog Barat seperti Gerge Ritzer dan Anthony Giddens.Pertama sebagaimana yang dinyatakan George Ritzer :
     Semua teoritisi besar sosiologi sebenarnnya mampu menjadi jembatan paradigma, mereka sedikit banyak mampu bergerak dengan mudah diantara dua atau lebih paradigma yang ada, ini sama sekali bukan proses yang disadari sekalipun sebagian besar teoritisi itu merasa perlu menerangkan realitas sosial menurut cara yang berlaianan, ada yang mencoba berurusan dengan beberapa paradigma sekaligus. (George Ritzer, 1980; 14)

     Selanjutnnya untuk mengintegrasikan kesemuannya ritzer mungusulkan paradigma terpadu yaitu Goerge Ritzer mengusulakan paradigma terpadu yaitu paradigma Makroskopik (makro subyektif dan makro objektif) dan Mikroskopik  (mikro subyektif dan mikro objektif), Sebagaimana yang dinyatakan bahwa paradigma terpadu bukan dimaksudkan untuk menggantikan, tetapi adalah untuk melengkapi paradigma yang kini ada.
Kedua sebagaimana yang dicetuskan oleh Anthony Giddens. Ia telah merekonseptualisasi atas konsep-konsep tindakan, struktur dan sistem dengan tujuan mengintegrasikannnya menjadi pendekatan teoritis. Giddens melihat bahwa ilmu-ilmu sosial dijajah oleh gagasan dualisme (dualism) pelaku (Agen) versus struktur. Ia memproklamirkan hubungan keduanya sebagai relasi dualitas (duality): ‘tindakan dan struktur saling mengandaikan “. Agen adalah orang-orang yang konkret dalam “arus kontinu tindakan dan peristiwa di dunia “. Adapun struktur bukanlah nama bagi totalitas gejala, bukan kode tersembunyi dalam strukturalisme, bukan pula kerangka keterkaitan bagian-bagian dari suatu totalitas seperti dalam fungsionalisme. Struktur adalah aturan (rules) dan sumberdaya (resources) yang terbentuk dari dan membentuk perulangan praktek sosial. Dualitas struktur dan pelaku terletak dalam proses dimana struktur sosial merupakan hasil (out come) dan sekaligus sarana (medium) praktek sosial. Pokok pikiran sentral ini yang menjadi poros pemikiran Giddens dan menamakan teorinya sebagai ‘strukturasi’.
     Bagi Giddens Struktur diciptakan, dipertahankan, dan diubah melalui tindakan-tindakan agen. Sedangkan tindakan-tindakan itu sendiri diberi bentuk yang bermakna (meaningful form) hanya melalui kerangka struktur. Jalur kausalitas ini berlangsung ke dua arah timbal-balik, sehingga tidak memungkinkan bagi kita untuk menentukan apa yang mengubah apa. Struktur dengan demikian memiliki sifat membatasi (constraining) sekaligus membuka kemungkinan (enabling) bagi tindakan agen.
Menurut Giddens pengertian sosiologi konvensional tentang struktur lebih dekat dengan konsep sistem sosial, hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Giddens bahwa:

Sistem sosial ialah sebagai praktek sosial yang dikembangkan (reproduced) atau hubungan yang direproduksi antara actor dan kolektivitas yang diorganisir sebagai praktek sosial tetap (Anthony Gidden dalam George Ritzer, 2003;511)

     Jadi gagasan tentng sistem sosial ini berasal dari pemusatan Giddens terhadap praktek sosial. Sistem sosial tidak mempunyai struktur, tetapi dapat memperlihatkan cirri-ciri strukturalnya. Struktur tidak dapat memumculkan dirinya sendiri dalam ruang dan waktu, tetapi dapat menjelma dalam sistem sosial atau dalam praktek sosial yang direproduksi. Meski sistem sosial merupakan produk dari tindakan yang disengaja. Gidddens memusatkan perhatian lebih besar pada fakta bahwa sistem sosial sering merupakan konsekuensi yang tidak diharapkan dari tindakan manusia. Jadi syruktur serta merta muncul dalam sistem sosial.  Struktur-pun menjelama dalam ingatan agen yang berpengatahuabn banyak akibatnya aturan dan sumberdaya menjelmakan dirinya sendiri baik di tingkat makro sistem sosial maupun ditingkat mikro berdasarkan kesadaran manusia.
     Walaupun paradigma terpadu muncul kritikan-krikan itupun juga akan muncul misalnya kritikan yang disampaikan oleh Ian Craib bahwa untuk menjelaskan kehidupan sosial yang komplek ini kita memerlukan sederetan teori yang mungkin saling bertentangan ketimbang struktur sebuah teori sintesis, dan kehidupan sosial ini memang sangat ruwet dan keruwetannya itu tidak dapat dijelaskan secara memadai denagn menggunakan pendekatan tunggal yang secara konseptual rapi seperti teori strukturasi ini.
Memang  belum ada titik temu yang bisa menjadikan kesepaktan bersama tentang hakikak hubungan individu dan masyarakat, namun setidaknnya dalam pembahasan ahir ini hanyalah sekedar memberikan gambaran mengenai hal tersebut, bahkan dalam setiap pembahasan yang ada tidak akan mampu menghasilkan suatu pandangan sosiologis yang menyatupadukan segi sosial dan segi individual dari realitas sosial, sosiologi yang kita punya masih bersifat aspektual, tetapi justru corak aspektual inilah yang harus menyadarkan kita akan pentingnnya filsafat sosial sebagai pandangan yang lebih luas dan komprehensif, hanya dalam terang filsafat sosial, sosiologi akan diselamatkan terhadap bahaya-bahaya legalisme, kemunafikan, dan suatu otonomi individu di lain pihak, filsafat sosial akan bertitik tolak dari manusia yang dwitunggal, individu dan masyarakat ialah satu, barang kali inilah yang ditekankan dalam pandangan Islam yang  melihat hubungan integritas antara keduannya.
     Penyebab miskonsepsi tentang ketakberdayaan individu ter­hadap masyarakat dan  lingkungan sosial adalah salah anggapan bahwa untuk senyawa riil maka komponennya sepenuhnya larut, dan dengan munculnya realitas baru, maka pluralitasnya menjadi unitas keseluruhan. Katanya hanya ada dua alternatif: eksistensi personalitas, kemerdekaan dan independensi individu diakui dan konsekuensinya harus ditolak kalau masyarakat merupakan aktualitas dan kalau masyarakat merupakan senyawa riil; atau harus diakui bahwa masyarakat merupakan senyawa riil. Untuk alternatif pertama, posisinya seperti teori pertama dan kedua, dan untuk alternatif kedua, harus ditolak kalau individu memiliki personalitas, kemerdekaan atau independensi. Begitulah yang dikatakan proposisi Durkheim. Namun mustahil memadukan teori-teori alternatif ini. Karena semua indikasi dan argumen sosiologis mendukung aktualitas masyarakat, maka kontra-teorinya harus dianggap tidak sahih.
Sesungguhnya semua senyawa riil dari sudut pandang filsafat tidak sama, alam, dalam tingkatannya yang rendah, yaitu dalam kasus benda non-organis dan benda mati, menurut filosof, setiap yang ada diatur oleh satu kekuatan, dan alam menghadapi semuanya itu dengan cara yang sama. Untuk setiap yang ada itu, komponennya sepenuhnya mengalami asimilasi, dan eksistensi komponen tersebut sepenuhnya larut dalam eksistensi keseluruhan. Itulah yang terlihat pada kasus air. Air merupakan senyawa oksigen dan hidrogen. Namun semakin tinggi tingkatan senyawa, maka komponennya semakin relatif independensinya terhadap ke­seluruhan, akibatnya terjadi pluralitas dalam unitas dan unitas dalam pluralitas. Kita melihat bahwa manusia, sekalipun dia itu satu, namun dalam dirinya terjadi pluralitas. Bukan saja kemampuannya dan kekuatan subordinatnya yang untuk sebagian besarnya tetap plural, namun ada pula pergulatan dan konflik permanen antarkekuatan internalnya. Masyarakat adalah wujud yang sangat riil, dan komponennya relatif memiliki banyak independensi.
     Komponen masyarakat adalah manusia. Manusia memiliki akal dan kehendak. Eksistensi individual dan alamiah manusia mendahului eksistensi sosialnya. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, komponen senyawa yang tinggi tingkatannya relatif tetap independen. Kalau melihat semua fakta ini, maka semangat individual manusia mampu menghadapi atau melawan semangat kolektif masyarakat, dari sini jelaslah bisa disimpulkan bahwa Islam menunjukkan bahwa kehidupan sosial itu alamiah. Manusia tidak dipaksa untuk hidup bermasyarakat. Juga, kalau manusia hidup bermasyarakat, maka itu bukan karena pilihan manusia sendiri. Untuk mengakhiri pembahasan ini penulis kutip pernyataan Craib yang memandang ambigu terhadap teori dan Ia juga memberikan pujian yang membingungkan terhadap karya Giddens :
Saya menemukan kesulitan dalam memhami teori sosial yang tidak mengandung apapun didalamnya, untuk sementara waktu, bagaimanapun juga teori strukturasi akan menjadi makanan yang berada ditengah piring. (Ian Craib dalam George Ritzer, 2003;511)

    Pada ahirnya apapun jenis teori sosial pasti akan selalu muncul dan mengalamai dialektika pemikiran, ya selama manusia dan kehidupan masyarakat itu masih ada tanpa terbatasi oleh ruang dan waktu yang melingkupinya.



Daftar Pustaka

Ritzer, George & Godman, J Douglas, 2003, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta

Ritzer, George,1980,  Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigama Ganda, Rajawali Pers, Jakarta

MUSIK POLPULER DALAM PERSPEKTIF KRITIS

OLEH : RIFQI K. ANAM
Sebagai salah satu bagian integral dalam kehidupan modern tidak bisa dilepaskan dari musik, Musik sebagai sebuah seni bisa dikatakan puncak agregasi daya kreasi, nalar, dan inspirasi manusia atas kondisi kemasyarakatan. Musik sebagai sebuah kebudayaan menyiratkan semgat peradaban yang dibangun saat itu. Tapi musik yang awalnya dianggap profan saat ini direduksi ke dalam komoditas dan budaya populer menjadikannya kehilangan aura dan sampai pada titik terendah musik muncul sebagai sebuah malapetakaitulah gagasan salah satu pemikir Mazhab Frankfurt, Theodor Ludwig Wiesengrund Adorno.
Adorno dilahirkan di Frankfurt, Jerman pada 1903 dengan Latar belakang keluarga yang cukup dekat dengan musik dan gaya kosmopolitan membuatnya memiliki. Adorno sedari kecil hingga remaja dikitari oleh lingkungan penuh musik membuatnya memiliki sense seni yang tinggi. Memasuki ranah universitas Adorno mendekati musik dengan sosiologis dan filsafat yang mendalam tentang musik karena kekecewaannya terhadap kondisi budaya pop yang semakin menggurita dan hegemoni kapitalisme dalam musik.
Permasalahan yang hendak diangkat adorno dalam konteks musik populer adalah musik populer tidak berisi musik secara mendalam tetapi hanya sebatas enak di dengan (easy listening) artinya musik populer telah kehilangan ruh dalam mengungkapkan realitas sosial yang mendasari musik itu. musik populer dihasilkan melalui dua proses dominasi industri budaya, yakni standarisasi dan individualitas semu. Standarisasi menyatakan tidak terlalu dipermasalahkannya orisinalitas, autentitas, sampai perkembangan musik secara keseluruhan. Standarisasi dalam menunjukkan musik populer mempunyai kemiripan dalam hal nada dan rasa antara satu dengan lainnya hingga dapat dipertukarkan1. Dengan kemiripan dalam berbagai hal, musik populer menjadikan musik populer bisa menjadi komoditas sendiri. Bersamaan dengan standarisasi dibentuk pula keinginan semu yang dijalankan demi membuat kabur rasa pribadi mengenai music yang seharusnya ada dalam diri individu dalam menikmati musik tetapi diarahkan pada pemujaan terhadap satu produk populer yang sedang tren. Akibatnya, selera pasar terdistorsi dari unsur seni dan budaya.
Selera musik individu terdistorsi oleh selera pasar sehingga musik bukan lagi tempat penyaluran rasa melainkan sebuah hirarki atas ke bawah yaitu dari industri musik ke penikmat musik. Terjadinya hubungan reifikasi yang memunculkan peran produsen-konsumen berlangsung nyaris tanpa cacat. Masyarakat bukan lagi penikmat musik, tapi buruh yang dieksploitasi sedemikian rupa dengan instrumen kebudayaan massa. Dan apa yang disebut Adorno sebagai homogenisasi, terutama dalam (komersialisasi) seni dianggap menjadi suatu keniscayaan oleh masyarakat
Dalam pandangan Adorno musik sudah tidak lagi merupakan suatu kohesi seperti halnya pada zaman romantik, karena itu di pandangan Adorno hanya pengungkapan subyektiflah yang masih memberikan kemungkinan membawa kebenaran secara isi.adorno menaruh harapan akan kemurnian subyektifitas musik ini tercermin dari keberpihakan Adorno terhadap seni dan filsafat tinggi.
Dalam menganalisa realitas musik populer Adorno menggunakan dialektika negatif artinya Adorno dalam melihat fakta-fakta music populer tidak sebagai indeks positif dari progresifitas masyarakat tapi sebagai negasi dari kebenaran yang dianut positif berkaitan dengan musik populer. Sederhananya dialektika negatif ingin mengkritisi terhadap kondisi masyarakat.
Tawaran Adorno adalah mencoba membandingkan musik klasik dan music populer dengan titik temunya adalah pembahasan mengenai standarisasi dan non standarisasi. Musik klasik dinilai sebagai musik yang mampu menjelaskan tantangan fetisisme komoditas karena musik klasik seperti Beethoven adalah musik serius yang meninggalkan komoditas2. Musik klasik dianggap mempunyai detail yang membuatnya berbeda satu sama lain serta dapat membangkitkan rasa individualitas masyarakat. Sementara itu, ketidakhadiran detail dalam musik pop dimaknai sebagai kerangka, yakni standarisasi terhadap musik-musik pop yang ada dan menentang prinsip-prinsip liberalitas karena tidak diperbolehkannya individu memilih musik yang lebih variatif dalam musik pop. Sebagai kesimpulan penutup bahwa musik populer yang ada saat ini secara kualitas detail hingga penghimpunan realitas masyarakat yang dituliskan dalam syair lagu sudah terdistorsi budaya populer sehingga musik populer telah kehilangan ruh deep music.
1 (Strinati. Populer: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. 2007: 73)
2 Lock Cit. hlm 74.
REFERENSI
Strinati, Dominic. 2007. Budaya Populer: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Penerbit Jejak: Yogyakarta



PENINDASAN MANUSIA DALAM MASYARAKAT INDUSTRI MODERN.

    OLEH : RIFQI K. ANAM

Herbert Marcuse belajar filsafat di Feriburg dan sempat menjadi asisten Edmund Husserl dan martin Heidegger. Itulah sebabnya karya awal Marcuse berupaya untuk membuat sintesa gagasan fenomenologi heidegger dengan Marxisme. Teori yang dikembangkan Herbert Marcuse disebut sebagai manusia satu dimensi (one-dimensional man). Perluasan analisis Marx berupa pemujaan tubuh atau fetisisme disini bertujuan untuk menggugah kesadaran kritis manusia yang dianggap sudah redup oleh komersialisme pasca perang dan perkembangan industri yang sudah semakin pesat sehingga para buruh mulai kehilangan lapangan pekerjaan.
Pada saat yang bersamaan, Marcuse percaya bahwa Marxisme sudah meninggalkan individu di trotoar sejarah pemikiran Barat, dan sepanjang hidupnya, concern inilah yang memompa semangat intelektual Marcuse, yaitu kebebasan individu dan kesejahteraannya (well-being) selain berkutat dengan persoalan transformasi sosial dan kemungkinan transisi dari era kapitalisme menjadi sosialisme. Herbert Marcuse sebagai seorang intelektual melihat situasi pada saat itu tidak tinggal diam namun ia bersama dengan pemikir-pemikir yang untuk membangun suatu usaha untuk memberikan jalan keluar kaum tertindas dengan berasumsikan teori Karl Mark.
Sebagai seorang anggota Institute for Social Research, Marcuse dengan cepat terlibat dalam proyek-proyek lintas ilmu yang dikembangkan oleh Institut ini yang di antaranya meliputi (1) model teori sosial kritis, (2) teori tahap-tahap baru dari negara dan monopoli kapitalisme, (3) hubungan antara filsafat, teori sosial, dan kritisisme kultural dan (4) analisa sistematis dan kritik atas rezim totaliter di Jerman. Pemikiran-pemikiran Marcuse kerap diasosiasikan dengan “Teori Kritis” Mazhab Frankfurt dengan tokoh-tokoh seperti Max Horkheimer, T.W. Adorno, dan beberapa pemikir lainnya dalam Institut.
Herbert Marcuse adalah korban langsung dari politik anti-semitisme NAZI. Ia menjadi salah seorang intelektual exile dengan pindah dari Jerman ke USA dan bahkan kemudian menjadi warga negara USA. Ia merupakan bagian dari lingkaran pemikir yang mengkritik Modernitas yang gagal atau pervert (Mazhab Frankfurt dengan Kritisisme Sosialnya) sebagai kelanjutan dari Negative Dialectics-nya Adorno & Horkheimer. Buku One-Dimensional Man: Studies in The Ideology of Advanced Industrial Society yang pertama kali dipublikasikan pada 1964, ditulis pasca perang dunia II, ketika dunia sedang memasuki masa perang dingin antara Blok Barat dengan Blok Timur. Saat buku ini ditulis, USA (Amerika Serikat) sedang berada dalam masa kemakmuran yang semakin meningkat. Macam-macam industri mulai maju dengan pesat, terutama industri yang berkaitan dengan hiburan (film, musik, dll.) dan fenomena ini oleh Marcuse dilihat sebagai salah satu sumber kekuasaan yang baru, yaitu kekuasaan selera dan gaya hidup.maka ada beberapa hal yang dirimuskan oleh Herbert Marcuse.

  1. Karakter ‘Totaliter’ Dalam Masyarakat Industri Maju
    1. Munculnya bentuk-bentuk kontrol yang baru
Dalam masyarakat industri maju, manusia terbelenggu oleh ketidakbebasan yang berkedokkan kemajuan teknis yang digerakkan oleh rasionalitas, efektivitas dan produktivitas. Ada harga yang harus dibayar untuk kemajuan ini yaitu hilangnya nalar dan isi tradisional. Kebebasan berpikir, berbicara & berkesadaran (ber-hati nurani) adalah ide-ide kritis yang bertujuan untuk menggantikan tatanan yang kuno, ketinggalan zaman dengan sesuatu yang lebih produktif dan rasional.
Sebab “totalitarian” tidak hanya (berarti) menata masyarakat secara teroristis, namun juga menata masyarakat secara ekonomis-teknis dan non teroristis yang bekerja dengan cara manipulasi kebutuhan oleh ‘kepentingan-kepentingan sempit’ (vested interests). Ada macam-macam kebebasan yang mau digarisbawahi Marcuse, yaitu kebebasan ekonomis yang berarti kebebasan dari ekonomi (dikontrol oleh daya-daya dan relasi-relasi ekonomis; bebas dari membanting tulang mencari sesuap nasi.), kebebasan politis yang berarti pembebasan individu dari politik yang tidak bisa mereka kontrol, kebebasan intelektual yang berarti pemulihan cara & isi pikiran individu yang sekarang begitu terhisap ke dalam komunikasi massa dan indoktrinasi, pelenyapan ‘opini publik’ sekaligus orang-orang yang mengutarakannya.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa bentuk-bentuk kontrol sosial yang sedang merebak adalah technological in a new sense. Bagi Marcuse, teknologi dalam kapitalisme berarti sebuah bentuk kontrol sosial yang khas. Dan kontrol ini mempunyai kecenderungan totaliter. Jadi, tidak bisa diklaim bahwa teknologi itu netral.
Menurut Marcuse Orang-orang yang bekerja menciptakan dan mengembangkan teknologi baru oleh Marcuse dituduh sebagai orang-orang (aparat) yang menentukan kebutuhan sosial, kemampuan, relasi kerja dan sikap-sikap --- dengan demikian melanggengkan tipe-tipe kontrol dan dominasi sosial.

    1. Menutupnya Semesta Politis
Masyarakat yang dimobilisasi secara total (The Society of Total Mobilization : STM) merupakan kombinasi dari Welfare State (Negara Kesejahteraan) dan Warfare State (Negara Perang). Jika dibandingkan dengan para pendahulunya, STM adalah jenis masyarakat yang baru.
Ciri-ciri yang bisa ditemukan dalam STM adalah: (a) pemusatan ekonomi nasional di tangan kepentingan segelintir perusahaan besar, (b) pemerintah berfungsi menstimulasi, mendukung dan terkadang mengontrol kekuatan ini, (c) penyebaran sistem ekonomi ini ke dalam sistem berskala global yaitu aliansi militer, perjanjian-perjanjian keuangan, bantuan teknis dan skema-skema perkembangan, (d) terhimpunnya populasi pekerja kerah-putih dan kerah-biru, tipe-tipe kepemimpinan dalam bisnis dan tenaga-kerja, gugus kegiatan mengisi waktu senggang di antara kelas-kelas sosial yang berbeda, (e) terbangunnya hubungan harmonis antara beasiswa dengan kepentingan nasional, (f) invasi rumah tangga oleh opini publik (lewat iklan media massa, contohnya), (g) dipertontonkannya ruang pribadi untuk konsumsi media massa komunikasi, (h) dalam ranah politis, partai-partai yang berseberangan haluan politik akan bergabung (merge) atau membentuk aliansi.
Menutupnya semesta politis dalam pengertian Marcuse berarti bukan hanya perubahan hakikat kerja dan relasi antar kelas seperti yang digambarkan Marx, namun juga seiring dengan munculnya dunia kerja yang bergantung pada kemajuan teknologi dan model otomatisasi, semakin lemahlah posisi kelas pekerja sebagai the living contradiction to the established society Logikanya: hanya ada satu kelas yang lalu mendominasi masyarakat, yaitu kelas birokrat, manager dan administrator.

    1. Penaklikan Kesadaran Yang Tidak Membahagiakan.
Marcuse memfokuskan pembahasannya mengenai segi yang kultural, seni dan estetis dari masyarakat industri maju yang dilihatnya bukan sebagai ‘penurunan budaya tinggi menjadi budaya massa tetapi penolakan kultur ini oleh realitas. Ada dua ranah yang meskipun eksis bersama namun sifatnya antagonistis, yaitu budaya tinggi (high culture) dengan realitas sosial. Kultur menjadi komoditas, produk yang diperdagangkan. Lebih jauh lagi, realitas teknologis yang makin berkembang bukan hanya merongrong bentuk-bentuk tradisional dari seni dan sastra, namun juga pondasi dasar seni itu sendiri yaitu artistic alienation (pengambilan jarak oleh si artis guna mencipta karya seni; segi abstraksi, transendensi)
Ciri khas artistic alienation yaitu sublimasi (sublime dalam pengertian estetika Kant), kini diinkorporasikan ke dalam hidup keseharian (dapur, kantor, toko), dirangkul oleh bisnis dan hiburan. Maka yang terjadi adalah desublimasi---yaitu menggantikan pemenuhan atau penikmatan yang tadinya dimediasi menjadi kenikmatan segera atau instan.  

    1. Menutup Semesta Wacana.
Marcuse mengungkapkan karakter totaliter (atau paling tidak otoriter) dari bahasa. Perang bukan hanya terjadi secara fisik. Dalam masyarakat teknologis, kita dapati juga perang wacana. Wacana (discourse) yang tadinya dimengerti sebagai jembatan antara sisi yang satu dengan lawannya atau kebalikannya (penampakan – realitas, substansi – atribut, esensi – eksistensi) pelan-pelan punah dengan semakin jayanya cara berpikir-dan-berperilaku satu dimensi. Bahasa juga dipakai penguasa sebagai instrumen untuk mendominasi alam berpikir rakyat. Kata kuncinya: OPERASIONALISME.
Dalam perang wacana, kita menemukan juga penyatuan hal-hal yang bertentangan (misal: “Jika mau damai siapkanlah perang”), yang menjadi karakter dari gaya komersial dan politis. Ini adalah salah satu cara di mana wacana dan komunikasi lalu menjadi kebal terhadap ekspresi protes dan penolakan, yang oleh Marcuse disebut karakter totaliter dari bahasa.
Karakter otoriter dari bahasa juga nampak misalnya dalam penggunaan bahasa oleh industri pariwara. Untuk menancapkan dan memantapkan image tertentu dari sebuah produk barang atau jasa di benak publik atau calon konsumer, bahasa dipelintir sedemikian rupa sehingga ia tidak lagi bersifat deskriptif-kualitatif, namun “mengancam dan melebih-lebihkan.”
Semua fenomena ini mau menyingkapkan tendensi one-dimensional mind lewat bahasa yang dituturkan. Jika kita lihat lebih jauh, alam rasionalitas teknologis yang bersifat totaliter ini merupakan trans-mutasi paling akhir dari ide Akal budi. Logika yang bermain dalam alam rasionalitas teknologis adalah logika dominasi, dengan perpaduan yang mengerikan antara kebebasan dan penindasan, produktivitas dan penghancuran, pertumbuhan dan regresi. Apakah ada sesuatu yang keliru dengan sistem dan logika bermain seperti ini?

  1. Perbandingan Antara Karakteristik Rezim Totaliter Dengan Masyarakat Industri Maju.
Marcuse adalah perjuangan untuk meletakkan prioritas ontologis individu di atas masyarakat atau publik. Dibayang-bayangi oleh represifnya rezim NAZI awal yang sempat ia alami sendiri di Jerman, Marcuse mengkampanyekan kebebasan individu dan spirit perlawanan terhadap apapun yang bersifat menindas dan mengekang kebebasan mengekspresikan pikiran, perasaan dan berkumpul. Hidup di bawah rezim yang menindas secara keseluruhan dan mau menghimpun segenap pluralitas ke dalam satu kesatuan dan totalitas adalah hidup di bawah rezim totaliter, siapapun pemimpinnya, dan apapun nama rezimnya. Seperti dikatakannya, under the rule of a repressive whole, liberty can be made into a powerful instrument of domination.
Propaganda dari pemimpin kharismatis semacam Hitler sebagai asal-usul totalitarianisme, Marcuse bergerak dalam arah yang sebaliknya. Totalitarianisme di satu sisi adalah gerak irasionalitas dari rasionalitas yang teknologis dan logika dominasi dari rezim, di lain sisi merupakan himpunan dari individu yang tercetak menjadi tidak kritis dan submisif dalam masyarakat yang menggelorakan konformitas dan identifikasi diri dengan benda-benda yang dimiliki berdasarkan kebutuhan palsu yang direka-ciptakan oleh para pemilik modal dan penggiat dalam industri citra pariwara (advertising).
Marcuse menyebut masyarakat industri maju (secara khusus USA) sebagai masyarakat yang berkelimpahan (affluent society). Dalam tulisannya ini, ia mengajukan tesis yang merupakan pengembangan lebih lanjut dari tulisannya Eros and Civilization (1955) dan One Dimensional Man (1964), yaitu bahwa the strains and stresses suffered by the individual in the affluent society are grounded in the normal functioning of this society (and of the individual!) rather than in its disturbances and diseases. Marcuse menyadari bahwa dalam masyarakat industri maju, salah satu ancaman terbesar atas kebebasan individu dan kekritisan cara berpikir adalah ritual pengulangan (the permanent repetition).
  1. Tanggapan Dan Kritik
Masyarakat industri maju menciptakan kebutuhan-kebutuhan palsu yang selanjutnya menghisap individu ke dalam pusaran sistem produksi dan konsumsi. Media massa dan budaya, industri iklan dan manajemen, cara-cara berpikir yang sempit dan “berdimensi-satu” semua mereproduksi sistem represif yang ada sekarang dan sistem itu berupaya untuk melenyapkan negativitas, kritik, dan perlawanan (oposisi).
Dengan demikian, secara kritis Marcuse menggugat dua postulat mendasar dari Marxisme ortodox, yaitu kaum proletar yang revolusioner dan ketidakterelakkannya krisis yang dialami oleh sistem kapitalis. Jalur berpikir Marcuse dengan demikian menjadi lebih radikal daripada yang diminta oleh Marxisme ortodox. Ia menggelorakan kekuatan-kekuatan dari kaum minoritas, para pendatang dan penduduk asing, dan para pemikir radikal untuk mengembangkan semacam strategi perlawanan terhadap sistem yang mapan dan menindas dengan cara berpikir dan bertindak secara radikal dan oposisional.
Dengan demikian, kultur bertumpang-tindih dengan pariwara. Motif yang berada di belakang semua ini tak pelak lagi (motif) ekonomis.” Akhirnya, dalam kultur konsumerisme yang menancap dalam masyarakat kontemporer, manipulasi bahasa pun bisa menjadi sejenis wajah baru rezim totaliter, seperti sudah diingatkan oleh Marcuse di atas dengan penggunaan bahasa yang represif, diulang-ulang dan cenderung resisten terhadap alternatif.
perjuangan melawan rezim dan masyarakat yang cenderung totaliter berarti perjuangan untuk memberdayakan warga negara, melatih diri menjadi konsumen yang kritis dan pembiasaan cara berpikir yang dialektis. Di mana kondisi keseragaman dan penyeragaman menjadi nyata, dan pluralitas ditolak demi berdiri tegaknya suatu tatanan tunggal yang mencakup segalanya (totalitas), di situlah benih-benih totalitarianisme berkecambah dan siap berkembang.

PASAR DINOYO DAN MANUSIA SATU DIMENSI

Manusia satu dimensi dalam tulisan ini adalah manusia telah terjebak pada satu dimensi rasionalitas. Berpikir seperti mesin. Segalanya Instrumentalisas dimana manusia dipandang dan dihargai sejauh dapat dikuasai, digunakan, diperalat, dimanipulasi dan ditangani dan dibuang bila sudah tidak berguna. Benar-benar seperti menggunakan mesin. Pasar tradisional yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat jual beli tetapi juga ruang publik masyarakat golongan menengah ke bawah, dianggap tidak layak lagi oleh penguasa karena tidak terlalu menguntungkan akan digadaikan menjadi menara-menara menjulang sehingga menjadi homogenisasi kebudayaan yang katanya kebudayaan modern. Fokus analisis dari penelitian ini adalah masyarakat yang mengalami homogenisasi kebudayaan karena dominasi penguasa, dominasi yang yang terjadi dikarenakan pemimpin terjebak pada pola pikir teknologis yang hanya mengacu pada hasil yang terjadi muncullah watak-watak kalkulatif, ketika dirasa menguntungkan maka dilakukan dan bila tidak menguntungkan akan diabaikan, pemimpin meniadakan permasalahan ketika tidak menguntungkan, tidak mau tahu dengan keadaan yang lainnya dan cenderung untuk tidak peduli sama sekali dengan pergumulan yang sedang terjadi dalam masyarakatnya. Permasalahan disini adalah pemaksaan bentuk pasar berupa mall kepada pedagang pasar tradisional karena dianggap mengganggu lalu lintas kota.
Tidak ada lagi ruang bagi keunikan, semua ditangani berdasarkan rasionalitas yang tidak rasional karena semuanya merupakan paksaan tetapi indivu mentolerirnya dengan alasan modernisasi. Pasar tradisional menyimpan berbagai keunikan masyarakat tradisional, gameinschafft masyarakat yang guyub tidak lagi lagi dapat ditemui di dalam mall, tidak ada yang jual jamu keliling, tidak ada interaksi antar pembeli dan penjual karena semua harga sudah ditetapkan tanpa ada proses tawar menawan sangat is nothing.
Manusia menciptakan, memanipulasi dan memeralat benda-benda, alam serta mesin-mesin, untuk memudahkan hidupnya. Di saat yang sama, hal itu juga berlangsung di wilayah politik dansosial. Di sinilah manusia dan masyarakat tak terkecuali berada dalam penguasaan dan manipulasi teknologi. Oleh karena itu kita perlu mennegativkan kembali apa modernisasi itu selalu baik? Ketika semua menjadi satu dimensi modern, maka modern tidak ada artinya karena tidak ada tradisional. Modernisme pasti juga memiliki efek-efek bawaan yang negatif misalnya konsumerisme, oleh karena itu kita harus meninjau kembali identitas yang dianggap lebih baik dari identitas yang lain tidak bisa digeneralisasi malinkan terdapat perbedaan lokal yang menjadi keunikan. Sehingga tidak hanya terbentuk satu dimensi saja dari manusia dan masyarakat.
Manusia memiliki multi Dimensi dari yang paling mendasar, seperti manusia sebagai mahluk yang memiliki motivasi, kesadaran, kebebasan, agresi, dan sebagainya. Tetapi kemudian tercemari dengan pengingkaran multi deminsi manusia karena dimensi yang lain tidak bisa dikalkulasi yang muncul adalah Instrumentalisasi pemikiran. Teknologi mengkungkung manusia sehingga manusia berjalan sebagaimana mesin.
Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan modern yang a priori disusun sedemikian rupa sehingga mereka bisa melayani sebagai instrumen konseptual untuk alam semesta mendorong diri, kontrol produktif; operationalism teoritis datang ke sesuai dengan operationalism praktis. Metode ilmiah yang mengarah pada-lebih-efektif yang pernah dominasi alam sehingga datang untuk memberikan konsep-konsep murni serta sarana untuk-lebih-efektif yang pernah dominasi manusia oleh manusia melalui dominasi alam. Teknologi juga menyediakan rasionalisasi besar dari ketidakbebasan manusia dan menunjukkan "teknis" kemustahilan menjadi otonom, menentukan sendiri kehidupan satu. Ketidak bebasan munculk ketika politik dan ketidak rasionalan masyarakat muncul untuk memperbesar tenaga kerja. Teknologi rasionalitas sehingga melindungi daripada membatalkan legitimasi dominasi, dan cakrawala instrumentalis alasan terbuka pada masyarakat totaliter rasional:
Di sinilah manusia dan masyarakat tak terkecuali berada dalam penguasaan dan manipulasi teknologi. Selain instrumentalisasi, manusia juga terdominasi dengan istilah operasionalisasi. Permasalahan dalam bingkai teknologis ini hanya dapat diselesaikan jika operasional. Ketika terdapat permasalahan pedagang pasar dinoyo tidak setuju dengan penggusuran pasar, yang dilakukan pemerintah malah menganggap keluhan ini terlalu kabur. Karanenya perlu dioperasionalisasikan. Artinya, perlu diterjemahkan dalam situasi dan tingkah laku yang konkrit.berarti harus disediakan tempat baru yang layak, diberi suntikan modal, masalah atau kesukaran disingkirkan tanpa mengubah struktur masyarakat. Sistem tetap dipertahankan. Marcuse mengungkapkan, yang terjadi bukanlah manusia menindas manusia lainnya, golongan tertentu menindas golongan lainnya. Tak ada lagi orang atau golongan yang ditunjuk sebagai penindas. Melainkan terdapat suatu sistem totaliter yang menguasai semua orang, seluruh realitas alamiah dan sosial. Tak ada orang yang dapat memengaruhi sistem anonim itu. Sistem yang tampak dalam segala bidang ini, menonjolkan diri baik di negara-negara maju maupun di negara berkembang.