14 Juni 2011


Umberto eco
Romantisme dalam hiperealitas

            Berkembangnya teknologi internet pada era komunikasi mencapai tingkat yang luar biasa sampai mampu membuat penggunanya menjelajah dari masa lampau hingga masa depan. Beberapa waktu sebelumnya penulis melakukan  surfing internet dan menemukan serial film anak yang dulu tidak ditonton sampai selesai saat ini menjadi terpuaskan. Romantisme masa lalu dapat dibangkitkan kembali dalam internet, kita kembali ke masa lalu untuk mengenangnya lewat teknologi. Inti yang hampir sama dituliskan umberto eco seorang pakar semiotika, kritikus budaya, sosiolog (meskipun tidak menganggap dirinya sosiolog) yang berasal dari itali (professor bologna university).
            Umberto Eco dalam menganalisis hiperrealitas menggunakan istilah-istilah copy, replica, replication, imitation, likeness,, dan reproduction untuk menjelaskan apa yang disebut hiperrealitas itu. Dalam konteks Eco hiperealitas tidak dilihat sebagai entitas negatif tetapi sebagai replikasi, salinan­ ̶ tepatnya simulacrum ̶ dari unsur-unsur masa lalu yang coba dihidupkan kembali dalam konteks masa kini sebagai sebuah nostalgia. eco lebih melihat fenomena hiperrealitas sebagai persoalan penjarakan (distanciation) artinya dengan teknologi memungkinkan masa lalu (past) hadir kembali pada saat ini (present).
            Pada salah satu bab di buku tamasya dalam hiperealitas, Eco menuliskan rata-rata imajinasi bangsa amerika pada masa lampau dilestarikan dalam bentuk kopi otentik dengan skala penuh, filsafat tentang keabadian sebagai duplikasi. contoh konkrit hiperrealitas dalam konteks ini bisa dilihat dalam film yang dingkat dari novel karya Milan trenc,  night at the museum dimana fosil T-Rex, suku Mayan, Gladiator Roma, hingga patung lilin Teddy Roosevelt seolah-olah hidup kembali. Ini membuktikan kerinduan romantisme masa lalu yang hendak dicapai melalui hiperrealitas, namun ketika masa lalu tersebut dihadirkan di dalam konteks masa kini, maka ia kehilangan kontak dengan realitas. Dalam arti kemunculannya Nampak lebih nyata dari kenyataannya sehingga menciptakan “…kondisi meleburnya antara salinan (copy) dengan aslinya (original)”(Umberto Eco dalam Yasraf Amir Piliang, 2009, 59)
            Disini terdapat sedikit perbedaan antara Umberto Eco dan Jean Baudillard dalam memaknai hiperealitas. Jean baudillard melihat hiperealitas terdiri dari salinan (simulacrum) dan simulasi yang didefinisikan situasi yang didalamnya terdapat kondisi tertentu diciptakan secara artifisial  yang seolah-olah nyata padahal tidak (ibid) melahirkan definisi eksplisit yang menyatakan simulasi bertentangan secara diametrical dengan representasi benda. Artinya  simulasi kebalikan dari representasi karena bila representasi masih mengacu pada benda nyata yang dicontohnya sebaliknya simulasi tidak merujuk pada sesuatu di luar dirinya, malahan menjadikan dirinya sebagai referensi misalnya Disney Land. Umberto Eco dalam melihat fenomena hiperrealitas masih menemukan prinsip representasi, artinya sebuah salinan masih merupakan representasi dari sebuah referensinya meskipun terkadang muncul dalam kondisi peleburan salinan dan asli, misalnya dalam film night at the museum. Akhirnya tampak bagi kita terdapat sedikit perbedaan pengertian hiperrealitas, Jean Baudillard dalam mendefinisikan hiperrealitas jauh lebih radikal dibandingkan Umberto Eco.       

Daftar pustaka
Yasraf Amir Piliang. 2009. Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Yogyakarta. Jalasutra
Umberto Eco. 1987. Tamasya dalam Hiperrealitas. Yogyakarta. Jalasutra

Sirkulasi Elit dan PSSI

sirkulasi elit  dan pssi

latar belakang
Diskursus yang berkembang akhir-akhir ini demokrasi hanyalah mitos belaka. Setidaknya terdapat kritik tajam dari para penganut “teori elit” dalam ilmu politik seperti Gaetano Mosca dan Vilfredo Pareto mengenai simulasi demokrasi itu. Elit yang memiliki kekuasaan politik diyakini ujung-ujungnya hanyalah memainkan kekuasaan di antara mereka sendiri. Kalau boleh menengok ke belakang terdapat suatu fenomena kebobrokan dari oligarki elit yaitu fenomena revolusi Rusia, dimana revolusi yang digerakan kaum sosialis, bukannya menciptakan demokrasi untuk para kelas pekerja, tetapi hanyalah penggantian dari satu kelompok penguasa ke kelompok penguasa lainnya (Lipset: 1961). Inilah kurang lebih yang oleh Robert Mitchels disebut dengan “hukum besi oligarki”. Mesin politik partai akan senantiasa menempatkan elit partai untuk menjadi determinator seluruh proses politik di tubuh partai .Semakin besar birokrasi dan organisasi suatu organ politik, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya oligarki (Michels: 1915).
Kritik lantang dari para penganut teori elit tersebut, bukannya tidak bergaung di kalangan para aktifis partai. Contoh menarik tentang upaya aktifis partai melawan “hukum besi oligarki” dapat ditengok pada proses evolusi sistem pemilihan presiden di Amerika Serikat. Pada awalnya, bursa kandidat presiden dan wakil presiden Amerika hanyalah ditentukan oleh beberapa kaukus para petinggi partai. Para elit politik dalam kaukus inilah yang menjadi penentu terpilihnya presiden baru.
Dalam konteks Indonesia, agaknya perjuangan melawan elit penguasa  kini tengah berada dalam masa yang kritis, berita teraktual datang dari dunia persepak bolaan. permasalahan di tubuh Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) mengenai adanya ketidak terbukaan mengenai penetapan calon ketua PSSI yang diduga dipolitisir oleh sekelompok elit yang berkuasa. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda akan berakhir. Bahkan, masih bakal berbuntut panjang, meski kabarnya akan diambil jalan pintas yaitu dengan diadakannya kongres luar biasa.
Kisruh di tubuh PSSI dengan sosok Nurdin Halid di satu sisi, dan Arifin Panigoro beserta George Toisuta di sisi yang lain, sesungguhnya tak jauh bedanya dengan persaingan politik antara Partai Golkar dan Partai Demokrat. Seperti yang diteorikan bahwa kelompok elite adalah kelompok yang selalu menentukan, dengan atau tanpa demokrasi. Kedudukan kelompok elite sangat menentukan karena elite yang selalu minoritas jumlahnya menentukan mayoritas keputusan.. Ironis memang, permasalahan elit di Indonesia harus kita lihat konteks historisitanya sebelum kita bisa melanjutkan ke arah solusi komprehensif nantinya.
            Apa yang menjadi keluh kesah di tengah masyarakat, itu pulalah yang (seharusnya) menjadi diskursus di tingkat elit. Demikian pesan singkat Aristoteles, bapak penganjur demokrasi dalam magnum oppus-nya politea. Bila rata-rata masyarakat menginginkan kemerdekaan dari penjajahan, maka elit harus berada dalam spektrum itu. Jika tidak, hanya ada dua kemungkinan, ikut terus bergumul dalam turbulensi sejarah atau tergilas dan ditinggal. Bila masyarakat menginginkan kesejahteraan dan keadilan sosial, maka siapapun yang duduk sebagai pemimpin di dalam hirarki kekuasaan, apakah itu formal atau tidak, mesti sekuat tenaga mengusahakan kesejahteraan dan keadilan sosial itu bagi masyarakat. Jika tidak yang terjadi adalah penguasaan negara oleh  sekelompok elit.
             Dengan kerangka historitas singkat elit di Indonesia sehingga penulis dapat memetakan sirkulasi elit dan harapannya bisa memberikan solusi cerdas tentang permasalahan elit saat ini.
Elit Politik Era Perjuangan Kemerdekaan (1900-1945)
            Pada masa ini elit politik kita didominasi oleh para intelektual. Mereka umumnya berasal dari kelas sosial “atas” dalam lingkungan sosial masyarakatnya. Ini terjadi sebagai konsekuensi logis kebijakan politik etis pemerintah kolonial Belanda yang hanya membolehkan kelas-kelas “tertentu” dalam masyarakat yang dapat mengenyam pendidikan tingi. Mereka akhirnya tumbuh sebagai elit yang mampu berfikir lebih luas dan keluar dari lingkup berpikir kelas sosial mereka menuju penderitaan menua bangsa dan rakyatnya, yaitu belenggu penjajahan, yang harus segera diakhiri.. Menjadi apa yang disebut Ali Syariati, rausan fikr, intelektual yang tercerahkan yang menjadi penggerak revolusi. H.Agus Salim, M.H Thamrin, dr Wahidin, dr Tjiptomangunkusumo, DR Rivai, H.O.S Cokroaminoto, Sutan Syahrir, Muhammad Hatta, Sukarno, Tan Malaka, Muhammad Yamin, Soepomo, Kibagus Hadikusno, Hasyim Asyari, IJ Kasimo, Muh Natsir sekedar menyebut contoh generasi ini.
            Mereka muncul sebagai intelektual dan mengambil kiprah sebagai elit politik. Karena ciri intelelektualitas ini, mereka selalu bergerak atas dasar keyakinan keyakinan normatif-idealis akan perjuangannya. Pragmatisme mereka akan menjadi “elit baru” bila Indonesia merdeka masih begitu kecil, untuk mengatakan tidak ada. Bahkan idealisme mereka tetap tercermin dalam hidup, yang menggambarkan betapa mereka tidak jauh dari hidup masa rakyat yang banyak. H A Salim, diplomat ulung, intelektual-ulama, menteri kabinet, hingga akhir hayatnya tetap memilih hidup bersama rakyat di gang kecil di pingiran kwitang. Hatta muda bersumpah tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka, dan itupun ia buktikan. Syahrir yang hidup berhari-hari bersama rakyat dan para pekerja di pedalaman Garut, hanya agar ia tahu betul dan merasakan apa yang diderita rakyatnya. Betapa rakyat, dalam arti sesungguhnya menjadi napas dalam keseharian hidup elit ketika itu. Namun diatas perbedaan itu, mereka bisa bahu membahu.
 Elit Politik Era Revolusi Fisik (1945-1949)
            Beberapa bulan setelah diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, pemerintah mengeluarkan maklumat negara yang mengubah secara signifikan konstelasi elit ketika itu. Pada fase ini nuansa konflik yang lebih luas mulai satu demi satu merasuk dalam aktivitas politik elit Indonesia. Di sektor sipil cara berfikir kepartaian yang cenderung mengedepankan kepentingan kelompok mulai mendominasi. Hanya karena perbebedaan pandangan dalam menyelesaikan masalah politik atau diplomasi dengan pihak Belanda, kabinet bisa bubar, dan mandat harus segera dikembalikan oleh PM kepada Presiden. Tercatat pada fasa ini (1945-1949) terjadi pegantian kabinet sebanyak delapan kali, “hanya” karena hal sepele yaitu ketidaksepakatan partai partai elemen pemerintah. Ini berarti rata rata satu kabinet hanya berusia sepuluh bulan. Namun meskipun demikian, perpolitikan Indonesia pada fase ini memiliki faktor Sukarno-Hatta yang begitu kuat, sehingga setiap kali gonjang ganjing politik yang mengakibatkan bubarnya kabinet, mandat tetap bisa dikembalikan kepada mereka tanpa kisruh berkepanjangan,
Elit Politik Orde Lama (1949-1966)
            Pada periode ini elit politik kita mulai mengalami fragmentasi secara kepartaian. Pemilu 1955 memberikan konstelasi politik baru  dimana PNI, NU, Masyumi, PKI, PSI, muncul sebagai partai. Konstelasi ini berkonsekuensi logis pada “konstelasi perilaku” elit ketika itu. Mulai terjadi perbedaan dalam melihat segala sesuatu. Bila pada periode sebelumnya fragmentasi kepartaian terjadi belum mendapatkan legitimasi rakyat, maka di era ini elit seolah lebih percaya diri dengan hasil pemilu yang mereka raih. Dinamika politik elit begitu hebat. Tercatat sidang sidang maraton dalam merumuskan konstitusi baru menggambarkan konstelasi politik sekaligus cakrawala intelektual yang menangkupi elit politik ketika itu.
            Sejarah memang kerap menyimpan paradoksnya tersendiri, yang kita selalu dibuat tidak mengerti. Nuansa politik sipil yang begitu dinamis dipahami secara berbeda oleh Sukarno di satu sisi –yang sudah sekian lama merasa kekuasaannya dilucuti oleh politisi — dan militer di sisi lain, yang merasa berjasa besar dalam menjaga keutuhan Republik. Militer mencoba masuk sebagai “elit politik” baru dalam pertarungan politik dengan memberikan sokongan penuh pada Sukarno untuk membubarkan parlemen dan Konstituante lewat dekrit 5 Juli 1959.
Elit Politik Orde Baru (1966-1998)
            Perubahan  Konstelasi di tingkat elit politik pada era orde baru terjadi seiring berjalan waktu. Tentara di lapis pertama, aktivis-aktivis yang membantu menggulingkan sukarno pada lapis kedua, dan pengusaha di lapis ketiga. Debat debat bernas yang menghiasi politik kita pada fase sebelumnya bak hilang di telan bumi. Kebijakan ekonomi, politik, sosial, budaya, bahkan keagamaan diserahkan kepada kaum teknokrat. Sementara elit politik hanya sebagai stempel karet. Golkar diplot sebagai partai pemerintah pada judul utama, sementara PDI dan PPP sebagai partai pelengkap yang melengkapi laku politik Golkar dan tentara pada catatan kaki narasi politik orde baru.
Elit Politik Orde Reformasi (1998-sekarang)
            Orde lama dan orde baru telah membuat masyarakat indonesia merasa tercengkeram oleh kediktatoran penguasa sehingga memunculkan sebuah reformasi structural dan cultural terhadap lembaga negara terutama kepresidenan yang puncaknya pada tahun 1998 turunnya presiden Suharto. Sirkulasi elit pada era reformasi ditandai dengan dibukanya keran-keran kebebasan berpandapat dan munculnya lagi diskusi-diskusi bernas. Amien Rais sebagai pelopor reformasi merupakan elit dari kalangan akademisi sehingga tidak berlebihan bila dalam era reformasi elit yang berperan banyak adalah elit akademis meskipun pada akhirnya yang menjadi pesiden pertama dari era ini adalah dari kalangan kiai yaitu Gus Dur.
elit politik dan sepak bola
Permasalahan sepak bola hari ini tidak bisa dilepaskan elit saat ini begu pragmatis soal kekuasaan, bukan kekuasaan dimaknai sebagai kewajiban untuk mensejahterakan atau dalam konteks ini membuat masyarakat tenang dalam menikmati sepak bola tanah air, yang terjadi malahan melakukan segala trik (taktik) akan digunakan oleh masing-masing pihak demi mencapai syahwat politik mereka, dan bila perlu menghalalkkan segala cara untuk menumpuk kekayaan.
Tidak bisa dipungkiri Sepakbola dan politik bagaikan seperti layaknya pedagang dan pasarnya, mengapa? Karena sekarang ini para elit politik di negara indonesia menjadikan sepakbola menjadi sumber untuk mencari keuntungan dan menarik simpati. Sistem politik di indonesia ini sudah pada titik yang berlebihan karena sebenarnya politik dan sepakbola sangat jauh hubungannya. tetapi ada contoh seperti perdana menteri italia yaitu silvio berlusconi yang juga presiden dari AC milan ia mendapatkan simpati dari klubnya yang menjuarai berbagai gelar dan meraih banyak sponsor maka itu ia terpilih menjadi perdana menteri dan pada era ia menjabat sebagai presiden dari AC milan ia tidak mencampuri urusan negara dengan sepakbola tapi ada saja intrik dalam mewujudkan itu tetapi hanya sebagian kecil saja. Lain halnya dengan negara yang kita cintai ini elit elit politik sangat terlihat penuh intrik intrik kotor yang berkedok sebagai acara undangan makan, acara ini sangat menggangu latihan pemain sepakbola.
Para elit elit politik kita melihat peluang meraih simpati dari masyarakat dengan sepakbola dapat meningkatkan dukungan tapi menurut saya masyarakat akan tambah benci dengan politik jika hiburan untuk masyarakat di campuri dengan urusan politik yang tidak penting karena masyarakat butuh hiburan bukannya malah menambah derita masyarakat dengan mendapat halangan untuk dapat menghibur dirinya yang sudah penat dengan keadaan indonesia saat ini. Para elit politik kita juga tidak memikirkan nasib persepakbolaan indonesianya kelak karena setiap ingin melakuakan hal yang sangat penting untuk di lakukan malah di undang ke acara yang seperti sampah dan tidak masuk akal.
Termasuk pula mereka tidak peduli terhadap kegalauan publik pecinta sepakbola nasional yang terus pihatin karena prestasi PSSI tidak perrnah memberikan piala juara. Masyarakat hanya disuguhi dengan drama politisasi sepak bola misalnya menjelang final piala tiger 2010 kemarin, Irfan Bachdim dkk bukannya diberikan waktu istirahat cukup tetapi oleh Nurdin Halid (ketua PSSI) malah diajak berkunjung de tempat ketua umum GOLKAR aburizal bakrie hal ini tentu saja mengandung implikasi yang sangat politis. Normatifnya para elit politik sadar bahwa PSSI itu bukan miliknya, tetapi kepunyaan rakyat Indonesia.
Belum lagi permasalahan FIFA (Federation International Football Asociation) yang akan menjatuhkan sanksi bila masalah kepemimpinan PSSI belum tertangani dengan baik padahal dalam hal pemilihan hal tersebut telah diatur dalam statuta FIFA seraya menunjukkanyang bernama Regulations Standard Electoral Code FIFA yang menjadi dasar dalam penetapan calon-calon ketua umum PSSI.Keprihatinan yang mendalam mengenai elit persepak bolaan tanah air begitu menggoncangkan masyarakat Indonesia.

Sirkulasi elit PSSI sebagi suatu keniscayaan social
Secara umum elit digunakan untuk menyebut kelompok-kelompok fungsional dan pemangku jabatan yang memiliki status tinggi dalam suatu masyarakat.Menurut Pareto, setiap masyarakat diperintah oleh sebuah elite yang komposisinya selalu berubah. Selanjutnya Pareto membagi elite itu dalam dua kelompok, yaitu kelompok elite yang memerintah dan kelompok elite yang tidak memerintah. Kedua kelompok elite itu senantiasa berebut kesempatan untuk mendapatkan porsi kekuasaan sehingga terjadilah sirkulasi elite. Setiap elite yang memerintah, menurut Pareto, hanya dapat bertahan apabila secara kontinuitas memperoleh dukungan dari masyarakat bawah. Akan tetapi sirkulasi elite akan tetap berjalan karena secara individual baik elite keturunan maupun elite yang diangkat atau ditunjuk akan mengalami kemunduran sesuai dengan waktu dan sebab-sebab biologis. Dengan kata lain, konflik itu tidak terlepas dari kondisi kemanusiaan.
Nurdin Halid sebagai ketua PSSI periode sebelumnya menpunyai keinginan untuk menguasai PSSI kembali atau dengan kata lain melanggengkan status quonya. Padaha tentu saja itu akan menjadi suatu permasalahan regenerasi elit yang akhirannya terjadinya suatu stagnasi dari sistem PSSI tersebut karena tidak adanya sirkulasi elit.
Seharusnya elit penguasa terus berganti sepanjang waktu, ada yang naik ada yang turun; ada yang berkuasa ada yang dikuasai; Elit saling berganti sesuai dengan aturan yang berlaku seperti yang disepakati oleh FIFA. Proposisi dari Pareto yang menarik dikemukakan disini adalah bahwa elit baru yang sedang mengincar kekuasaan akan selalu menawarkan sesuatu yang baru atau reformasi terhadap berbagai hal yang ditinggalkan oleh elit lama. Oleh Pareto mereka diibaratkan sebagai fox (serigala) yang banyak meneriakkan berbagai janji perubahan. Sedangkan elit penguasa, oleh Pareto diibaratkan sebagai Lion yang makanannya jauh lebih besar dan tidak mau direbut oleh serigala. Maka Lion akan berusaha mempertahankan kekuasaannya. Teori Pareto ini banyak dipengaruhi oleh fenomena politik di Italia dan Perancis.
Sirkulasi elit PSSI adalah suatu kenicayaan bisa kita lihat pada proposisi Pareto bahwa perubahan terjadi, ketika elite berkuasa mengalami kemerosotan moral ini sudah terbukti dengan politisasi PSSI oleh Nurdin dan merosotnya kepercayaan masyarakat luas kepada Nurdin pada akhirnya pembacaan penulis akan muncul elit baru yang memenangkan pemilihan dan menjadi penguasa.