06 Februari 2011

SENDYAKALANING MANUSIA SATUDIMENSI

OLEH : RIFQI K. ANAM

Masyarakat Permisif
JANGAN berpikir bahwa bangsa ini telah lepas dari krisis. Jika mulai tahun 1998 kita didera oleh krisis moneter, berlanjut ke krisis ekonomi dan kemudian krisis politik, maka kinipun kita menghadapi krisis yang tak kalah menakutkan, yakni krisis lingkungan. Krisis ini sama-sama sulitnya dengan dua krisis sebelumnya itu. Sama dengan krisis politik dan ekonomi, krisis lingkungan terjadi sebagai akibat perbuatan dan cara pikir kita yang salah dari waktu-waktu kemarin hingga kini.
Krisis lingkungan muncul sebagai beban berat susulan yang menambah lengkaplah kompleks persoalan bangsa ini. Adanya krisis-krisis tersebut memperlihatkan begitu tidak berdayanya bangsa ini menghadapi kompleksitas persoalan. Tidak saja “gagal” mengantisipasi dan mengatasi persoalan ekonomi dan politik yang jelas-jelas disebabkan ulah manusia, tetapi juga gagal mengatasi bencana lingkungan yang disebabkan ulah manusia dan yang benar-benar murni dominasi alam.
Uniknya, kita tidak pernah memprihatinkan something wrong di masyarakat ini. Kita masih terlalu arogan dan tidak mengakui bahwa kita ternyata begitu lemah dan mungkin, sangat bodoh. Buktinya kita cenderung permisif atas persoalan yang datang dan menggampangkan melalui pernyataan yang sering tidak bisa dipertanggungjawabkan. Termasuk, mengkambinghitamkan alam yang tidak mengerti apa-apa.

Antroposentrisme Manusia
Sekalipun banyak kalangan menyebut era sekarang sebagai era teknologi, tetapi nyatanya teknologi “gagal” menyelesaikan sebagian besar persoalan hidup kita. Gagalnya deteksi tsunami di Pantai Utara Jawa, tidak antisipatifnya gempa bumi di Jogja-Jateng dan gagalnya membendung luberan Lumpur Panas di Sidoarjo, menunjukkan gagalnya teknologi berperan dalam kehidupan sosial kita. Tidak jarang, dalam menghadapi bencana kita sudahi dengan melupakan begitu saja, tanpa berpusing-pusing mencari penjelasan atau penyelesaian yang memuaskan. Jangankan untuk antisipasi bencana ke depan, yang telah terjadi saja kita tidak sanggup mengatasi.
Kasus flu burung, misalnya. Menkes dan Mentan menyalahkan alam sebagai sebab. Dengan turunnya musim hujan, virus H5NI mengalami pengembangbiakan dan menyebar kemana-mana. Sementara pemerintah mengkampanyekan “cegah atau lawan flu burung” atau “aman makan daging unggas”, toh korban-korban selalu saja tidak tertolong. Bahkan hingga kini Indonesia merupakan negara yang memiliki angka kematian tertinggi akibat flu burung.
Belum lagi tenggelamnya KM Senopati dan jatuhnya Pesawat AdamAir di perairan Majene, Sulawesi Barat. Sekalipun dipastikan posisi kotak hitam (black box) pesawat AdamAir telah ditemukan, tetapi hingga kini kita tidak sanggup mengambil bagian penting pesawat yang akan banyak menyibak misteri kecelakaan pesawat ini. Akhirnya, baik pemerintah maupun pihak AdamAir menyerah alias tidak meneruskan pencarian ini, mengingat benda ini berada di dasar laut dengan kedalaman 2000 meter. Lagi, kita tidak bisa menjelaskan bencana ini secara bertanggung jawab.
Terkait dengan musibah-musibah tersebut ilmuwan eksakta, rohaniawan, tokoh masyarakat, menteri dan para birokrat tidak bisa menjelaskan ke publik mengapa bencana-bencana itu gagal diantisipasi? Sekalipun kecelakaan kereta api dan pesawat banyak terjadi, selalu saja yang disalahkan alam. Banyak kalangan menuduh bahwa yang harus bertanggung jawab adalah menteri perhubungan. Karena ia memiliki kewenangan dan bisa melakukan langkah-langkah penting untuk antisipasi bencana. Tetapi, yang biasa terjadi pembantu presiden ini mengelak dengan menyatakan bahwa sebab-sebab tersebut di luar kemampuan dirinya (baca : alam). Ia merasa tidak harus bertanggung jawab atas kecelakaan-kecelakaan itu.
Sedangkan, bagi kalangan yang berpendidikan dengan enteng selalu menyalahkan alam. Dari Lumpur panas, tenggelamnya KM Senopati, Kecelakaan AdamAir, termasuk bencana banjir yang terjadi di DKI Jakarta, selalu saja menutupi ketidakberdayaan dengan mengkambinghitamkan pada alam. Fauzi Bowo dalam wawancara dengan salah satu televisi swasta (5/2/2007) menyatakan bahwa banjir di Jakarta dikarenakan alam. Ia nyatakan, kepala daerah atau presiden atau republik manapun tidak akan bisa mengatasi ini karena tidak sanggup mengalahkan alam. Tampak dari pernyataan wakil Gubernur DKI, ini ketidaksanggupan dirinya mengantisipasi terjadinya banjir di Jakarta dengan mengkambinghitamkan alam.

Perubahan paradigma penguasaan
Dari fenomena di atas perlunya perubahan dalam cara berpikir, terutama dikalangan elit, baik elit politik, elit ekonomi maupun elit agama. Pola pikir kalangan elit yang selalu mengkambinghitamkan alam jelas memperlihatkan ketidakprofesionalan dan jelas menunjukan rasa tidak bertanggung jawab kepada publik. Karena taruhan yang begitu besar, maka seharusnya bencana justru merupakan ujian paling nyata bagi kinerja dan kecerdasan elit kita.
Kalau para elit berhasil mengatasi bencana, maka ia layak dipuji publik sebagai orang professional. Bahkan, kalau perlu harus diberi penghargaan. Sebaliknya, kalau di bawah tanggung jawabnya, bencana terus menerus terjadi dengan memakan banyak korban, seharusnya menjadi pelajaran berharga segala permasalahan yang disebabkan ketamakan manusia sehingga melakukan refleksi kritis terhadap apa yang telah terjadi dan yang telah dilakukan, sehingga mengurangi permasalahan yang di sebabkan dominasi manusia atas alam.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar