03 Februari 2011

PENINDASAN MANUSIA DALAM MASYARAKAT INDUSTRI MODERN.

    OLEH : RIFQI K. ANAM

Herbert Marcuse belajar filsafat di Feriburg dan sempat menjadi asisten Edmund Husserl dan martin Heidegger. Itulah sebabnya karya awal Marcuse berupaya untuk membuat sintesa gagasan fenomenologi heidegger dengan Marxisme. Teori yang dikembangkan Herbert Marcuse disebut sebagai manusia satu dimensi (one-dimensional man). Perluasan analisis Marx berupa pemujaan tubuh atau fetisisme disini bertujuan untuk menggugah kesadaran kritis manusia yang dianggap sudah redup oleh komersialisme pasca perang dan perkembangan industri yang sudah semakin pesat sehingga para buruh mulai kehilangan lapangan pekerjaan.
Pada saat yang bersamaan, Marcuse percaya bahwa Marxisme sudah meninggalkan individu di trotoar sejarah pemikiran Barat, dan sepanjang hidupnya, concern inilah yang memompa semangat intelektual Marcuse, yaitu kebebasan individu dan kesejahteraannya (well-being) selain berkutat dengan persoalan transformasi sosial dan kemungkinan transisi dari era kapitalisme menjadi sosialisme. Herbert Marcuse sebagai seorang intelektual melihat situasi pada saat itu tidak tinggal diam namun ia bersama dengan pemikir-pemikir yang untuk membangun suatu usaha untuk memberikan jalan keluar kaum tertindas dengan berasumsikan teori Karl Mark.
Sebagai seorang anggota Institute for Social Research, Marcuse dengan cepat terlibat dalam proyek-proyek lintas ilmu yang dikembangkan oleh Institut ini yang di antaranya meliputi (1) model teori sosial kritis, (2) teori tahap-tahap baru dari negara dan monopoli kapitalisme, (3) hubungan antara filsafat, teori sosial, dan kritisisme kultural dan (4) analisa sistematis dan kritik atas rezim totaliter di Jerman. Pemikiran-pemikiran Marcuse kerap diasosiasikan dengan “Teori Kritis” Mazhab Frankfurt dengan tokoh-tokoh seperti Max Horkheimer, T.W. Adorno, dan beberapa pemikir lainnya dalam Institut.
Herbert Marcuse adalah korban langsung dari politik anti-semitisme NAZI. Ia menjadi salah seorang intelektual exile dengan pindah dari Jerman ke USA dan bahkan kemudian menjadi warga negara USA. Ia merupakan bagian dari lingkaran pemikir yang mengkritik Modernitas yang gagal atau pervert (Mazhab Frankfurt dengan Kritisisme Sosialnya) sebagai kelanjutan dari Negative Dialectics-nya Adorno & Horkheimer. Buku One-Dimensional Man: Studies in The Ideology of Advanced Industrial Society yang pertama kali dipublikasikan pada 1964, ditulis pasca perang dunia II, ketika dunia sedang memasuki masa perang dingin antara Blok Barat dengan Blok Timur. Saat buku ini ditulis, USA (Amerika Serikat) sedang berada dalam masa kemakmuran yang semakin meningkat. Macam-macam industri mulai maju dengan pesat, terutama industri yang berkaitan dengan hiburan (film, musik, dll.) dan fenomena ini oleh Marcuse dilihat sebagai salah satu sumber kekuasaan yang baru, yaitu kekuasaan selera dan gaya hidup.maka ada beberapa hal yang dirimuskan oleh Herbert Marcuse.

  1. Karakter ‘Totaliter’ Dalam Masyarakat Industri Maju
    1. Munculnya bentuk-bentuk kontrol yang baru
Dalam masyarakat industri maju, manusia terbelenggu oleh ketidakbebasan yang berkedokkan kemajuan teknis yang digerakkan oleh rasionalitas, efektivitas dan produktivitas. Ada harga yang harus dibayar untuk kemajuan ini yaitu hilangnya nalar dan isi tradisional. Kebebasan berpikir, berbicara & berkesadaran (ber-hati nurani) adalah ide-ide kritis yang bertujuan untuk menggantikan tatanan yang kuno, ketinggalan zaman dengan sesuatu yang lebih produktif dan rasional.
Sebab “totalitarian” tidak hanya (berarti) menata masyarakat secara teroristis, namun juga menata masyarakat secara ekonomis-teknis dan non teroristis yang bekerja dengan cara manipulasi kebutuhan oleh ‘kepentingan-kepentingan sempit’ (vested interests). Ada macam-macam kebebasan yang mau digarisbawahi Marcuse, yaitu kebebasan ekonomis yang berarti kebebasan dari ekonomi (dikontrol oleh daya-daya dan relasi-relasi ekonomis; bebas dari membanting tulang mencari sesuap nasi.), kebebasan politis yang berarti pembebasan individu dari politik yang tidak bisa mereka kontrol, kebebasan intelektual yang berarti pemulihan cara & isi pikiran individu yang sekarang begitu terhisap ke dalam komunikasi massa dan indoktrinasi, pelenyapan ‘opini publik’ sekaligus orang-orang yang mengutarakannya.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa bentuk-bentuk kontrol sosial yang sedang merebak adalah technological in a new sense. Bagi Marcuse, teknologi dalam kapitalisme berarti sebuah bentuk kontrol sosial yang khas. Dan kontrol ini mempunyai kecenderungan totaliter. Jadi, tidak bisa diklaim bahwa teknologi itu netral.
Menurut Marcuse Orang-orang yang bekerja menciptakan dan mengembangkan teknologi baru oleh Marcuse dituduh sebagai orang-orang (aparat) yang menentukan kebutuhan sosial, kemampuan, relasi kerja dan sikap-sikap --- dengan demikian melanggengkan tipe-tipe kontrol dan dominasi sosial.

    1. Menutupnya Semesta Politis
Masyarakat yang dimobilisasi secara total (The Society of Total Mobilization : STM) merupakan kombinasi dari Welfare State (Negara Kesejahteraan) dan Warfare State (Negara Perang). Jika dibandingkan dengan para pendahulunya, STM adalah jenis masyarakat yang baru.
Ciri-ciri yang bisa ditemukan dalam STM adalah: (a) pemusatan ekonomi nasional di tangan kepentingan segelintir perusahaan besar, (b) pemerintah berfungsi menstimulasi, mendukung dan terkadang mengontrol kekuatan ini, (c) penyebaran sistem ekonomi ini ke dalam sistem berskala global yaitu aliansi militer, perjanjian-perjanjian keuangan, bantuan teknis dan skema-skema perkembangan, (d) terhimpunnya populasi pekerja kerah-putih dan kerah-biru, tipe-tipe kepemimpinan dalam bisnis dan tenaga-kerja, gugus kegiatan mengisi waktu senggang di antara kelas-kelas sosial yang berbeda, (e) terbangunnya hubungan harmonis antara beasiswa dengan kepentingan nasional, (f) invasi rumah tangga oleh opini publik (lewat iklan media massa, contohnya), (g) dipertontonkannya ruang pribadi untuk konsumsi media massa komunikasi, (h) dalam ranah politis, partai-partai yang berseberangan haluan politik akan bergabung (merge) atau membentuk aliansi.
Menutupnya semesta politis dalam pengertian Marcuse berarti bukan hanya perubahan hakikat kerja dan relasi antar kelas seperti yang digambarkan Marx, namun juga seiring dengan munculnya dunia kerja yang bergantung pada kemajuan teknologi dan model otomatisasi, semakin lemahlah posisi kelas pekerja sebagai the living contradiction to the established society Logikanya: hanya ada satu kelas yang lalu mendominasi masyarakat, yaitu kelas birokrat, manager dan administrator.

    1. Penaklikan Kesadaran Yang Tidak Membahagiakan.
Marcuse memfokuskan pembahasannya mengenai segi yang kultural, seni dan estetis dari masyarakat industri maju yang dilihatnya bukan sebagai ‘penurunan budaya tinggi menjadi budaya massa tetapi penolakan kultur ini oleh realitas. Ada dua ranah yang meskipun eksis bersama namun sifatnya antagonistis, yaitu budaya tinggi (high culture) dengan realitas sosial. Kultur menjadi komoditas, produk yang diperdagangkan. Lebih jauh lagi, realitas teknologis yang makin berkembang bukan hanya merongrong bentuk-bentuk tradisional dari seni dan sastra, namun juga pondasi dasar seni itu sendiri yaitu artistic alienation (pengambilan jarak oleh si artis guna mencipta karya seni; segi abstraksi, transendensi)
Ciri khas artistic alienation yaitu sublimasi (sublime dalam pengertian estetika Kant), kini diinkorporasikan ke dalam hidup keseharian (dapur, kantor, toko), dirangkul oleh bisnis dan hiburan. Maka yang terjadi adalah desublimasi---yaitu menggantikan pemenuhan atau penikmatan yang tadinya dimediasi menjadi kenikmatan segera atau instan.  

    1. Menutup Semesta Wacana.
Marcuse mengungkapkan karakter totaliter (atau paling tidak otoriter) dari bahasa. Perang bukan hanya terjadi secara fisik. Dalam masyarakat teknologis, kita dapati juga perang wacana. Wacana (discourse) yang tadinya dimengerti sebagai jembatan antara sisi yang satu dengan lawannya atau kebalikannya (penampakan – realitas, substansi – atribut, esensi – eksistensi) pelan-pelan punah dengan semakin jayanya cara berpikir-dan-berperilaku satu dimensi. Bahasa juga dipakai penguasa sebagai instrumen untuk mendominasi alam berpikir rakyat. Kata kuncinya: OPERASIONALISME.
Dalam perang wacana, kita menemukan juga penyatuan hal-hal yang bertentangan (misal: “Jika mau damai siapkanlah perang”), yang menjadi karakter dari gaya komersial dan politis. Ini adalah salah satu cara di mana wacana dan komunikasi lalu menjadi kebal terhadap ekspresi protes dan penolakan, yang oleh Marcuse disebut karakter totaliter dari bahasa.
Karakter otoriter dari bahasa juga nampak misalnya dalam penggunaan bahasa oleh industri pariwara. Untuk menancapkan dan memantapkan image tertentu dari sebuah produk barang atau jasa di benak publik atau calon konsumer, bahasa dipelintir sedemikian rupa sehingga ia tidak lagi bersifat deskriptif-kualitatif, namun “mengancam dan melebih-lebihkan.”
Semua fenomena ini mau menyingkapkan tendensi one-dimensional mind lewat bahasa yang dituturkan. Jika kita lihat lebih jauh, alam rasionalitas teknologis yang bersifat totaliter ini merupakan trans-mutasi paling akhir dari ide Akal budi. Logika yang bermain dalam alam rasionalitas teknologis adalah logika dominasi, dengan perpaduan yang mengerikan antara kebebasan dan penindasan, produktivitas dan penghancuran, pertumbuhan dan regresi. Apakah ada sesuatu yang keliru dengan sistem dan logika bermain seperti ini?

  1. Perbandingan Antara Karakteristik Rezim Totaliter Dengan Masyarakat Industri Maju.
Marcuse adalah perjuangan untuk meletakkan prioritas ontologis individu di atas masyarakat atau publik. Dibayang-bayangi oleh represifnya rezim NAZI awal yang sempat ia alami sendiri di Jerman, Marcuse mengkampanyekan kebebasan individu dan spirit perlawanan terhadap apapun yang bersifat menindas dan mengekang kebebasan mengekspresikan pikiran, perasaan dan berkumpul. Hidup di bawah rezim yang menindas secara keseluruhan dan mau menghimpun segenap pluralitas ke dalam satu kesatuan dan totalitas adalah hidup di bawah rezim totaliter, siapapun pemimpinnya, dan apapun nama rezimnya. Seperti dikatakannya, under the rule of a repressive whole, liberty can be made into a powerful instrument of domination.
Propaganda dari pemimpin kharismatis semacam Hitler sebagai asal-usul totalitarianisme, Marcuse bergerak dalam arah yang sebaliknya. Totalitarianisme di satu sisi adalah gerak irasionalitas dari rasionalitas yang teknologis dan logika dominasi dari rezim, di lain sisi merupakan himpunan dari individu yang tercetak menjadi tidak kritis dan submisif dalam masyarakat yang menggelorakan konformitas dan identifikasi diri dengan benda-benda yang dimiliki berdasarkan kebutuhan palsu yang direka-ciptakan oleh para pemilik modal dan penggiat dalam industri citra pariwara (advertising).
Marcuse menyebut masyarakat industri maju (secara khusus USA) sebagai masyarakat yang berkelimpahan (affluent society). Dalam tulisannya ini, ia mengajukan tesis yang merupakan pengembangan lebih lanjut dari tulisannya Eros and Civilization (1955) dan One Dimensional Man (1964), yaitu bahwa the strains and stresses suffered by the individual in the affluent society are grounded in the normal functioning of this society (and of the individual!) rather than in its disturbances and diseases. Marcuse menyadari bahwa dalam masyarakat industri maju, salah satu ancaman terbesar atas kebebasan individu dan kekritisan cara berpikir adalah ritual pengulangan (the permanent repetition).
  1. Tanggapan Dan Kritik
Masyarakat industri maju menciptakan kebutuhan-kebutuhan palsu yang selanjutnya menghisap individu ke dalam pusaran sistem produksi dan konsumsi. Media massa dan budaya, industri iklan dan manajemen, cara-cara berpikir yang sempit dan “berdimensi-satu” semua mereproduksi sistem represif yang ada sekarang dan sistem itu berupaya untuk melenyapkan negativitas, kritik, dan perlawanan (oposisi).
Dengan demikian, secara kritis Marcuse menggugat dua postulat mendasar dari Marxisme ortodox, yaitu kaum proletar yang revolusioner dan ketidakterelakkannya krisis yang dialami oleh sistem kapitalis. Jalur berpikir Marcuse dengan demikian menjadi lebih radikal daripada yang diminta oleh Marxisme ortodox. Ia menggelorakan kekuatan-kekuatan dari kaum minoritas, para pendatang dan penduduk asing, dan para pemikir radikal untuk mengembangkan semacam strategi perlawanan terhadap sistem yang mapan dan menindas dengan cara berpikir dan bertindak secara radikal dan oposisional.
Dengan demikian, kultur bertumpang-tindih dengan pariwara. Motif yang berada di belakang semua ini tak pelak lagi (motif) ekonomis.” Akhirnya, dalam kultur konsumerisme yang menancap dalam masyarakat kontemporer, manipulasi bahasa pun bisa menjadi sejenis wajah baru rezim totaliter, seperti sudah diingatkan oleh Marcuse di atas dengan penggunaan bahasa yang represif, diulang-ulang dan cenderung resisten terhadap alternatif.
perjuangan melawan rezim dan masyarakat yang cenderung totaliter berarti perjuangan untuk memberdayakan warga negara, melatih diri menjadi konsumen yang kritis dan pembiasaan cara berpikir yang dialektis. Di mana kondisi keseragaman dan penyeragaman menjadi nyata, dan pluralitas ditolak demi berdiri tegaknya suatu tatanan tunggal yang mencakup segalanya (totalitas), di situlah benih-benih totalitarianisme berkecambah dan siap berkembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar