04 Februari 2011

MENGENAL PEMIKIRAN PIERRE BOURDIEU

OLEH : RIFQI K. ANAM


Arah Pemikiran
Seperti kebanyakan pemikir teori kritis maupun Neo-Marxis, Bourdieu sekaligus sebagai ahli teori dan aktivis sosial-politik. Ritzer menyatakan Bourdieu sebagai pemikir post-strukturalis (Ritzer (terjemah),2008: 57). Kajian pertama Bordeau adalah filsafat, kemudian beralih ke kajian sosiologi didorong keprihatinan mendasarnya terhadap lingkungan sosial dan hasrat atas perubahan.
Sosiologi Bordeau tidak murni bersifat empiris, tetapi masuk pada wilayah teks. Ia menyatakan agar teks tidak kering, teks harus menjadi tindakan. Mengutip Touraine, Bordeau berbicara tentang gerakan sosial. Fenomena ini terjadi bila tindakan konfliktual berusaha mengubah hubungan dominasi sosial yang ada dalam sumber daya budaya yang utama seperti: produksi, pengetahuan dan norma-norma etika (Haryatmoko, Basis, No.11-12, Tahun 52, November-Desember 2003).

Beberapa Pemikiran Penting
Dalam menjelaskan fenomena sosial beberapa konsep penting digunakan oleh Bordeau, yakni habitus, ranah dan beragam modal. Habitus merupakan kerangka penafsiran untuk memahami dan menilai realitas sekaligus penghasil praktik-praktik kehidupan sesuai dengan struktur-struktur objektif. Dihubungkan dengan kelas sosial, habitus merupakan pengkondisian yang berkaitan dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas (Haryatmoko, Basis, No.11-12, Tahun 52, November-Desember 2003). Dalam habitus, suatu arena sosial yang didalamnya perjuangan atau manuver terjadi untuk memperebutkan sumber atau pertaruhan dan akses terbatas.
Arena adalah taruhan yang dipertaruhkan-benda kultural (gaya hidup), perumahan, kemajuan intelektual (pendidikan), pekerjaan, tanah, kekuasaan (politik), kelas sosial, prestise atau lainnya-dan mungkin berada pada tingkatan yang berbeda dengan spesifikasi dan derajat kekongkretan (Jenksin, Richard, 2010: 124).
Sementara itu, berbagai macam modal yang dinyatakan Bordeau, yakni modal ekonomi, modal sosial, modal budaya dan modal simbolik. Beberapa pengertian bisa dikatakan, sebagai berikut. Modal ekonomi, yaitu sarana produksi dan sarana finansial yang bisa dikonversikan menjadi modal-modal lain.
Sementara itu, modal budaya menunjuk pada, “ suatu bentuk pengetahuan, suatu kode internal atau suatu akusisi kognitif yang melengkapi agen sosial dengan empati terhadap, apresiasi terhadap, atau kompetensi di dalam, pemilah-milahan relasi-relasi dan artefak-artefak kultural”.
Dua bentuk kapital budaya, yakni: Pertama, kapital yang terintegrasi dalam diri, yakni hasil kerja pribadi dan akusisi tanpa disadari. Kedua, kapital budaya objektif, seluruh kekayaan budaya (buku, karya seni) bisa dimiliki secara material dalam pembedaan dengan kapital simbolis. Sifat dari kapital ini: terinstitusionalisir, menjadi anggota dari lembaga-lembaga tertentu (Haryatmoko, 2010: 17).
Sedangkan, modal sosial, berbagai jenis relasi bernilai dengan pihak lain bernilai atau “jaringan hubungan yang bekerja sebagai sumber daya untuk penentuan kedudukan sosial, akumulasi modal atau efektivitas tindakan.
Derajat akumulasi prestise, ketersohoran, konsekrasi atau kehormatan, dan dibangun atas dialektika pengetahuan dan pengenalan. Konsep ini bisa dikembangkan pada kekuasaan simbolis berdasarkan bentuk-bentuk modal yang tidak bisa direduksi dalam bentuk modal ekonomi (Johnson, Randal dalam Bourdieu (2010: xix). Jabatan, mobil mewah, kantor, prestise dan gengsi sosial, gelar, status tinggi, nama besar keluarga. Pada dasarnya bentuk pengakuan sosial oleh kelompok, baik secara institusional maupun informal merupakan sumber daya dalam posisi sosial, akumulasi modal atau efektivitas wacana dan tindakan (Haryatmoko, 2010: 18). Banyak sedikit modal sangat menentukan peneguhan dan peningkatan posisi pada arena itu.

Tentang Dominasi
Dalam arena akan ditentukan apakah hubungan-hubungan yang terstruktur akan tetap dipertahankan atau dirubah. Dalam semua masyarakat selalu ada yang menguasai dan dikuasai. Dominasi sangat bergantung dengan : situasi, kapital dan strategi pelaku (Haryatmoko, 2010: 17).
Dalam La Domination Masculine (1998), terjemahan (2010), Bourdieu menyatakan bahwa terdapat 3 lembaga prinsipil (Keluarga, Gereja dan Sekolah) yang melakukan kerja reproduksi. Gereja menanamkan secara eksplisit suatu moral yang familialis, yang sepenuhnya didominasi oleh nilai-nilai patriarkhal, terutama dengan dogma tentang inferioritas dasar perempuan. Ia bekerja lewat simbolika teks-teks sakral, liturgi dan ruang-waktu religius.
Sekolah menyampaikan presuposisi-presuposisi representasi patriarkhal (yang didasarkan homologi antara relasi laki-laki/perempuan dan relasi dewasa/anak-anak). Sekolah menyampaikan presuposisi-presuposisi yang tertera dalam struktur-struktur hirarkhinya sendiri. Hirarkhi-hirarkhi tersebut bermakna seksual (Bourdieu, 2010 b: 122).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar