03 Februari 2011

INTEGRASI HUBUNGAN INDIVIDU dan MASYARAKAT

OLEH : RIFQI K. ANAM
     Masalah yang kerap melanda teoritisi sosial dari Emile Durkheim hingga Erving Goffman adalah terjebak pada subyektifisme (gejala individu sebagai penjelas keseluruhan) atau obyektivisme (gejala keseluruhan sebagai penjelas kondisi individu). Hal ini yang kemudian menjadikan penindasan struktur atas individu atau individu lepas dari struktur. padahal permasalahan yang harus dikaji adalah melihat dualitas antara individu dan struktur karena praktik sosial individu yang membentuk struktur dan struk yang memberdayakan praktik sosial individu selain mengekangnya.
     Mengkaji berbagai macam diskursus paradigmatik tentang individu dan masyarakat dari para tokoh sosiolog maka untuk melihat titik temu diantara beberapa pandangan diatas perlu pemahaman integratif guna memeta-teorikan beragam  paradigma yang ada, salah satu sosiolog yang menngintegrasikan beragama paradigma tersebut adalah Sosiolog Barat seperti Gerge Ritzer dan Anthony Giddens.Pertama sebagaimana yang dinyatakan George Ritzer :
     Semua teoritisi besar sosiologi sebenarnnya mampu menjadi jembatan paradigma, mereka sedikit banyak mampu bergerak dengan mudah diantara dua atau lebih paradigma yang ada, ini sama sekali bukan proses yang disadari sekalipun sebagian besar teoritisi itu merasa perlu menerangkan realitas sosial menurut cara yang berlaianan, ada yang mencoba berurusan dengan beberapa paradigma sekaligus. (George Ritzer, 1980; 14)

     Selanjutnnya untuk mengintegrasikan kesemuannya ritzer mungusulkan paradigma terpadu yaitu Goerge Ritzer mengusulakan paradigma terpadu yaitu paradigma Makroskopik (makro subyektif dan makro objektif) dan Mikroskopik  (mikro subyektif dan mikro objektif), Sebagaimana yang dinyatakan bahwa paradigma terpadu bukan dimaksudkan untuk menggantikan, tetapi adalah untuk melengkapi paradigma yang kini ada.
Kedua sebagaimana yang dicetuskan oleh Anthony Giddens. Ia telah merekonseptualisasi atas konsep-konsep tindakan, struktur dan sistem dengan tujuan mengintegrasikannnya menjadi pendekatan teoritis. Giddens melihat bahwa ilmu-ilmu sosial dijajah oleh gagasan dualisme (dualism) pelaku (Agen) versus struktur. Ia memproklamirkan hubungan keduanya sebagai relasi dualitas (duality): ‘tindakan dan struktur saling mengandaikan “. Agen adalah orang-orang yang konkret dalam “arus kontinu tindakan dan peristiwa di dunia “. Adapun struktur bukanlah nama bagi totalitas gejala, bukan kode tersembunyi dalam strukturalisme, bukan pula kerangka keterkaitan bagian-bagian dari suatu totalitas seperti dalam fungsionalisme. Struktur adalah aturan (rules) dan sumberdaya (resources) yang terbentuk dari dan membentuk perulangan praktek sosial. Dualitas struktur dan pelaku terletak dalam proses dimana struktur sosial merupakan hasil (out come) dan sekaligus sarana (medium) praktek sosial. Pokok pikiran sentral ini yang menjadi poros pemikiran Giddens dan menamakan teorinya sebagai ‘strukturasi’.
     Bagi Giddens Struktur diciptakan, dipertahankan, dan diubah melalui tindakan-tindakan agen. Sedangkan tindakan-tindakan itu sendiri diberi bentuk yang bermakna (meaningful form) hanya melalui kerangka struktur. Jalur kausalitas ini berlangsung ke dua arah timbal-balik, sehingga tidak memungkinkan bagi kita untuk menentukan apa yang mengubah apa. Struktur dengan demikian memiliki sifat membatasi (constraining) sekaligus membuka kemungkinan (enabling) bagi tindakan agen.
Menurut Giddens pengertian sosiologi konvensional tentang struktur lebih dekat dengan konsep sistem sosial, hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Giddens bahwa:

Sistem sosial ialah sebagai praktek sosial yang dikembangkan (reproduced) atau hubungan yang direproduksi antara actor dan kolektivitas yang diorganisir sebagai praktek sosial tetap (Anthony Gidden dalam George Ritzer, 2003;511)

     Jadi gagasan tentng sistem sosial ini berasal dari pemusatan Giddens terhadap praktek sosial. Sistem sosial tidak mempunyai struktur, tetapi dapat memperlihatkan cirri-ciri strukturalnya. Struktur tidak dapat memumculkan dirinya sendiri dalam ruang dan waktu, tetapi dapat menjelma dalam sistem sosial atau dalam praktek sosial yang direproduksi. Meski sistem sosial merupakan produk dari tindakan yang disengaja. Gidddens memusatkan perhatian lebih besar pada fakta bahwa sistem sosial sering merupakan konsekuensi yang tidak diharapkan dari tindakan manusia. Jadi syruktur serta merta muncul dalam sistem sosial.  Struktur-pun menjelama dalam ingatan agen yang berpengatahuabn banyak akibatnya aturan dan sumberdaya menjelmakan dirinya sendiri baik di tingkat makro sistem sosial maupun ditingkat mikro berdasarkan kesadaran manusia.
     Walaupun paradigma terpadu muncul kritikan-krikan itupun juga akan muncul misalnya kritikan yang disampaikan oleh Ian Craib bahwa untuk menjelaskan kehidupan sosial yang komplek ini kita memerlukan sederetan teori yang mungkin saling bertentangan ketimbang struktur sebuah teori sintesis, dan kehidupan sosial ini memang sangat ruwet dan keruwetannya itu tidak dapat dijelaskan secara memadai denagn menggunakan pendekatan tunggal yang secara konseptual rapi seperti teori strukturasi ini.
Memang  belum ada titik temu yang bisa menjadikan kesepaktan bersama tentang hakikak hubungan individu dan masyarakat, namun setidaknnya dalam pembahasan ahir ini hanyalah sekedar memberikan gambaran mengenai hal tersebut, bahkan dalam setiap pembahasan yang ada tidak akan mampu menghasilkan suatu pandangan sosiologis yang menyatupadukan segi sosial dan segi individual dari realitas sosial, sosiologi yang kita punya masih bersifat aspektual, tetapi justru corak aspektual inilah yang harus menyadarkan kita akan pentingnnya filsafat sosial sebagai pandangan yang lebih luas dan komprehensif, hanya dalam terang filsafat sosial, sosiologi akan diselamatkan terhadap bahaya-bahaya legalisme, kemunafikan, dan suatu otonomi individu di lain pihak, filsafat sosial akan bertitik tolak dari manusia yang dwitunggal, individu dan masyarakat ialah satu, barang kali inilah yang ditekankan dalam pandangan Islam yang  melihat hubungan integritas antara keduannya.
     Penyebab miskonsepsi tentang ketakberdayaan individu ter­hadap masyarakat dan  lingkungan sosial adalah salah anggapan bahwa untuk senyawa riil maka komponennya sepenuhnya larut, dan dengan munculnya realitas baru, maka pluralitasnya menjadi unitas keseluruhan. Katanya hanya ada dua alternatif: eksistensi personalitas, kemerdekaan dan independensi individu diakui dan konsekuensinya harus ditolak kalau masyarakat merupakan aktualitas dan kalau masyarakat merupakan senyawa riil; atau harus diakui bahwa masyarakat merupakan senyawa riil. Untuk alternatif pertama, posisinya seperti teori pertama dan kedua, dan untuk alternatif kedua, harus ditolak kalau individu memiliki personalitas, kemerdekaan atau independensi. Begitulah yang dikatakan proposisi Durkheim. Namun mustahil memadukan teori-teori alternatif ini. Karena semua indikasi dan argumen sosiologis mendukung aktualitas masyarakat, maka kontra-teorinya harus dianggap tidak sahih.
Sesungguhnya semua senyawa riil dari sudut pandang filsafat tidak sama, alam, dalam tingkatannya yang rendah, yaitu dalam kasus benda non-organis dan benda mati, menurut filosof, setiap yang ada diatur oleh satu kekuatan, dan alam menghadapi semuanya itu dengan cara yang sama. Untuk setiap yang ada itu, komponennya sepenuhnya mengalami asimilasi, dan eksistensi komponen tersebut sepenuhnya larut dalam eksistensi keseluruhan. Itulah yang terlihat pada kasus air. Air merupakan senyawa oksigen dan hidrogen. Namun semakin tinggi tingkatan senyawa, maka komponennya semakin relatif independensinya terhadap ke­seluruhan, akibatnya terjadi pluralitas dalam unitas dan unitas dalam pluralitas. Kita melihat bahwa manusia, sekalipun dia itu satu, namun dalam dirinya terjadi pluralitas. Bukan saja kemampuannya dan kekuatan subordinatnya yang untuk sebagian besarnya tetap plural, namun ada pula pergulatan dan konflik permanen antarkekuatan internalnya. Masyarakat adalah wujud yang sangat riil, dan komponennya relatif memiliki banyak independensi.
     Komponen masyarakat adalah manusia. Manusia memiliki akal dan kehendak. Eksistensi individual dan alamiah manusia mendahului eksistensi sosialnya. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, komponen senyawa yang tinggi tingkatannya relatif tetap independen. Kalau melihat semua fakta ini, maka semangat individual manusia mampu menghadapi atau melawan semangat kolektif masyarakat, dari sini jelaslah bisa disimpulkan bahwa Islam menunjukkan bahwa kehidupan sosial itu alamiah. Manusia tidak dipaksa untuk hidup bermasyarakat. Juga, kalau manusia hidup bermasyarakat, maka itu bukan karena pilihan manusia sendiri. Untuk mengakhiri pembahasan ini penulis kutip pernyataan Craib yang memandang ambigu terhadap teori dan Ia juga memberikan pujian yang membingungkan terhadap karya Giddens :
Saya menemukan kesulitan dalam memhami teori sosial yang tidak mengandung apapun didalamnya, untuk sementara waktu, bagaimanapun juga teori strukturasi akan menjadi makanan yang berada ditengah piring. (Ian Craib dalam George Ritzer, 2003;511)

    Pada ahirnya apapun jenis teori sosial pasti akan selalu muncul dan mengalamai dialektika pemikiran, ya selama manusia dan kehidupan masyarakat itu masih ada tanpa terbatasi oleh ruang dan waktu yang melingkupinya.



Daftar Pustaka

Ritzer, George & Godman, J Douglas, 2003, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta

Ritzer, George,1980,  Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigama Ganda, Rajawali Pers, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar