04 Februari 2011

HERMENEUTIKA FAKTISITAS HEIDEGGER

OLEH : RIFQI K. ANAM
A. Latar Belakang Teoritisi
Martin Heidegger (lahir di Meßkirch, Jerman, 26 September 1889 – meninggal 26 Mei 1976 pada umur 86 tahun) adalah seorang filsuf asal Jerman.. Heidegger dilahirkan di sebuah keluarga desa di Meßkirch, Jerman, dan diharapkan kelak menjadi seorang pendeta. Keluarganya tidak cukup kaya untuk mengirimnya ke universitas, dan ia membutuhkan bea siswa. Untuk maksud tersebut, ia harus belajar agama. Di masa remajanya, ia dipengaruhi oleh Aristoteles yang dikenalnya lewat teologi Kristen. Ketika ia belajar sebagai mahasiswa, ia meninggalkan teologi dan beralih kepada filsafat, karena ia menemukan sumber pendanaan lain untuk studinya
Heidegger mulanya adalah seorang pengikut fenomenologi. Secara sederhana, kaum fenomenolog menghampiri filsafat dengan berusaha memahami pengalaman tanpa diperantarai oleh pengetahuan sebelumnya dan asumsi-asumsi teoretis abstrak. Edmund Husserl adalah pendiri dan tokoh utama aliran ini, sementara Heidegger adalah mahasiswanya dan hal inilah yang meyakinkan Heidegger untuk menjadi seorang fenomenolog. Heidegger menjadi tertarik akan pertanyaan tentang "Ada". Karyanya yang terkenal Being and Time (Ada dan Waktu) dicirikan sebagai sebuah ontologi fenomenologis. Gagasan tentang Ada berasal dari Parmenides dan secara tradisional merupakan salah satu pemikiran utama dari filsafat Barat. Persoalan tentang keberadaan dihidupkan kembali oleh Heidegger setelah memudar karena pengaruh tradisi metafisika dariPlato hingga Descartes, dan belakangan ini pada Masa Pencerahan. Heidegger berusaha mendasarkan ada di dalam waktu, dan dengan demikian menemukan hakikat atau makna yang sesungguhnya dalam artian kemampuannya untuk kita pahami.
B. Being and Time
Karya terpenting Heidegger adalah Being and Time (German Sein und Zeit, 1927). Menjadi pokok pikiran adalah ada, apa yang diartikan ada? apa maknanya bila sesuatu entitas dikatakan ada? Pertanyaan ini adalah satu pertanyaan mendasar dalam caakupan wilayah ontologi. Dalam pendekatannya Heidegger terpisah dari tradisi Aristotelian dan Kantian yang mendekati pertanyaan itu dari sudut pandang logika. Secara implisit mereka mengatakan bahwa pengetahuan teoritis mewakili relasi mendasar antara individu dan ada di dunia sekitarnya (mencakup juga dirinya sendiri).
Didasari kelalaian paling mendasar para filsuf selama perjalanan filsafat adalah lupa akan Ada. Rene Descartes telah menemukan cogito dan mempostulatkan cogito ergo sum, tapi ia tidak pernah mempertanyakan sum (ada) itu sendiri. Ada selalu diandaikan begitu saja, tanpa pernah dipertanyakan. Kesadaran bukanlah segala-galanya, melainkan hanya salah satu bentuk penyingkapan Ada. Bukan kesadaran yang menentukan Ada, melainkan Ada yang menentukan kesadaran. Demikianlah Heidegger memulai proyek filsafatnya, dari pertanyaan tentang Ada.
Heidegger menolak tesis ini dengan mengawali pendekatannya dari fenomena keterlibatan yang disebutnya sebagai sorge. Perilaku manusia adalah sebuah keterlibatan secara aktif dengan objek keseharian di sekelilingnya. Dia bukan seorang pengamat pasif yang mengambil jarak dari dunianya. Pendaatnya ini sekaligus sebuah kritik bagi pemikiran Cartesian yang mengagungkan "aku" sebagai objek berpikir murni yang terpisah dari dunianya. Heidegger mengritik pernyataan terkenal Descartes aku berpikir maka aku ada yang terlalu menekankan pada aku berpikir dan lupa bahwa seharusnya aku ada terlebih dahulu barulah kemudian aku bisa berpikir. Fakta mendasar dari eksistensi manusia adalah bahwa kita telah 'ada di dalam dunia'. Dunia adalah karakter dari ada di dalam dunia, yang selanjutnya disebut dengan das sein.
Persoalan yang diangkat dalam hal ini adalah “historisitas”. Menurut Heidegger, Heidegger berusaha mengatasi filsafat modern yang berpoporos pada kesadaran atau subyektivitas. Misalnya dalam Descartes, kenyataan atau ada itu diciptakan oleh kesadaran. Jika aku menyadari danau di luar diriku maka danau itu ada. Pandangan semacam ini yang ditolak Heidegger. Kesadaran yang ditemukan Descartes itu bukanlah segala-galanya sebagaimana dipikirkan oleh Descartes, melainkan hanyalah salah satu cara Ada menampakkan diri dalam sejarah Ada (historisitas Ada). Apa itu sejarah Ada? Kita harus membayangkan seluruh manusia dan alam semesta ini sebagai suatu cerita tentang penampakan diri Ada dalam berbagai maknanya. Dalam penggalan tertentu yang kita sebut ‘zaman modern’, Ada lebih ditangkap sebagai kesadaran atau subyektivitas. Tetapi ini tidak berlaku untuk segala zaman. Heidegger menawarkan strategi lain dalam mendekati fenomen kesadaran: membuka diri terhadap Ada dan membiarkan Ada tampak apa adanya. Karena itu fenomenologi tidak sekedar untuk membuka kesadaran manusia belaka tapi juga sebagai sarana umtuk mendekati Ada dalam seluruh faktisitas dan historisitasnya.
C. Pengaruh Fenomenologi Husserl
Heidegger menyebut metode fenomenologinya sebagai “hermeneutik”. Terdapat kaitan erat fenomenologi Husserl dengan Hermeneutika Heidegger dan penting dimengerti redefinisi Heidegger tentang fernomenologi. Heidegger kembali pada akar kata fenomenologi. Fenomenologi berasal dari akar kata Yunani yang merupakan kombinasi kata polimorfemik phainomenon atau phainesthai dan logos. Phainomenon/phainesthai berarti yang menampakkan diri, sesuatu yang termanifestasikan, atau tampak apa adanya. Sedangkan logos, oleh Heidegger, tidak diartikan sebagai ‘nalar’ atau ‘landasan’. Logos lebih berarti fungsi pembicaraan, yang membuat nalar atau landasan tersebut menjadi mungkin. Logos mempunyai fungsi yang tersembunyi yang menunjuk pada fenomena.
Dengan demikian, kombinasi phainomenon/phainesthai dan logos berarti membiarkan benda-benda menjadi manifes sebagaimana adanya, tanpa memaksakan kategori-kategori kita sendiri pada benda-benda tersebut. Ini berarti berlawanan dengan kebiasaan yang telah ada. Bukan kita yang menunjuk benda atau realitas, tapi realitas itu sendiri yang menunjukkan dirinya kepada kita. Metode fenomenologi ini menjadi signifikan bagi teori hermeneutis. Metode ini menunjukkan bahwa interpretasi tidaklah didasarkan pada kesadaran dan kategori yang dibuat manusia, tetapi pada realitas yang menampakkan diri apa adanya. Heidegger, dalam Being and Time berusaha mendekati Ada sebagai fenomen. Maka ontologi harus menjadi fenomenologi.
Kaitannya dengan hermeneutika sebagaimana ontologi menjadi fenomenologi tentang Ada, ia juga harus menjadi hermeneutika eksistensi. Hermeneutika ini bukanlah suatu metode filologi, juga bukan metode memahami (Geisteswissenschaften) seperti yang diungkapkan Dilthey, melainkan hermeneutika yang membuka sesuatu yang tersembunyi. Ia bukan interpretasi atas interpretasi (misalnya suatu teks) melainkan kegiatan primer interpretasi yang membuka hakekat Ada. Selanjutnya, Hermeneutika menjadi “interpretasi Dasein”. Dengan demikian, pemahaman terhadap Dasein sendiri merupakan bagian yang penting dalam hermeneutika Heidegger. Akhirnya Heidegger sendiri mendefinisikan esensi hermeneutika sebagai kekuatan ontologis ‘pemahaman’ dan ‘interpretasi’ yang memungkinkan keberadaan sesuatu khususnya keberadaan Dasein dapat terungkap.
Pemikiran Heidegger sangat kental dengan nuansa fenomenologis, meskipun akhirnya Heidegger tidak mengadopsi keseluruhan dari prinsip fenomenologi yang dibangun Husserl. Kesadaran, menurut Husserl, selalu mengandaikan terarah kepada sesuatu di luarnya, intensionalitas.[1] Heidegger meradikalkan prinsip intensionalitas ini dengan mengatakan, bahwa kesadaran bukan hanya sadar akan sesuatu, yaitu memiliki isi tematis tertentu, melainkan terlebih sadar sebagai sesuatu. Kita tidak sekedar sadar akan sesuatu, melainkan sesuatu itu turut membentuk kesadaran kita. Bukan kesadaran yang lebih utama daripada Ada, melainkan Ada yang lebih utama daripada kesadaran. Kesadaran adalah cara Ada menampakkan diri. Artinya, fenomenologi Husserl lebih bersifat epistemologis karena menyangkut pengetahuan tentang dunia, sementara fenomenologi Heidegger lebih sebagai ontologi karena menyangkut kenyataan itu sendiri.[2] Heidegger menekankan, bahwa fakta keberadaan merupakan persoalan yang lebih fundamental ketimbang kesadaran dan pengetahuan manusia, sementara Husserl cenderung memandang fakta keberadaan sebagai sebuah datum keberadaan.[3] Heidegger tidak memenjara realitas dalam kesadaran subjektif, melainkan pada akhirnya realitas sendiri yang menelanjangi dirinya di hadapan subjek.
D.Realitas Kajian : MIkro Obyektif
Heidegger menggambarkan sebelum kita berpikir kita harus ada dulu baru kita berpikir, apa artinya? Eksistensi “ada” adalah sebuah realitas tetapi disini Heidegger menggunakan Hermeneutika dalam Pengertian Ontologis dengan kajian utama pada manusia.
Apa yang ditulis Heidegger sebagai hermeneutika tidak bisa dipahami dalam pengertian pemahaman yang subjektif. Hermeneutika juga bukan hanya sebuah metode pengungkapan realitas. Hermeneutika adalah hakikat keberadaan manusia yang menyingkap selubung Ada (Sein). Ia tidak berada dalam pengertian subjek-objek, dimana pemahaman tentang objek berangkat dari persepsi kategoris dalam diri subjek. Subjek tidak memahami sejauh objek tidak mengungkapkan diri. Subjek tergantung kepada pengungkapan objek. Dan sebetulnya term subjek dan objek di sini tidak tepat, sebab Dasein adalah seinde yang memiliki kemampuan yang lain. Dikatakan Dasein karena cara beradanya berbeda dengan benda-benda lain (seinde) yang ada begitu saja. Dasein berarti mengada di sana. Terdapat nuansa aktifitas dari Dasein. Dasein adalah satu-satunya seinde yang secara ontologis mampu keluar dari dirinya sendiri (Existenz) guna menguakkan adanya sendiri dan adanya seinde lainnya.
Ada tidak senantiasa menguakkan dirinya, oleh karenanya ia selalu merupakan kemungkinan, mungkin ada dan mungkin juga tiada. Oleh karena itu, pemahaman yang ditentukan oleh penyingkapan Ada, juga berada pada posisi kemungkinan, mungkin ada dan mungkin tiada. Dalam Being and Time, Heidegger mengatakan: “As understanding, Dasein projects its Being upon possibilities.”Kehidupan, pada dasarnya, berjalan di atas kemungkinan-kemungkinan. Kemungkinan-kemungkinan itu terejawantah dalam diri manusia. Manusia selalu berada di antara kemungkinan manifestasi sesuatu dan ketidak-manifestasian sesuatu. Ia tidak menguasainya, tetapi menjadi gembalanya. Manusia bukan penguasa atas apa yang ada, melainkan gembalanya,
Sekalipun Heidegger masih tidak mengidentikkan antara manusia yang menginterpretasi atau berpikir dan yang diintrepretasi atau yang dipikirkan, tetapi ia tidak bisa dipisahkan sama sekali. Intensionalitas Husserl tidak dibuang sama sekali, tapi digunakan dalam pengertian yang lain, yaitu bahwa faktisitaslah yang menjadi anutan kesadaran. Bukan kita yang menunjuk benda, tapi benda itu sendiri yang menunjukkan dirinya. Interpretasi manusia dibaca dalam pengertian ontologis karena ia merupakan hakekat manusia itu sendiri. Berpikir (menginterpretasi) adalah Dasein itu sendiri.
Berpikir, dalam pengertian Heidegger, bukan menggambarkan, bukan memvisualisasikan sesuatu di depan mata, bukan merefleksi, melainkan bertanya dan meminta keterangan, mendengarkan dengan penuh rasa hormat suara Ada, menunggu dengan bertanya dan mendengarkan Ada.
Ketika manusia berpikir lalu memahami, sesungguhnya ia tidak memenjarakan objek pemahaman. Pemahaman dipahami bukan sebagai sesuatu yang harus dimiliki, melainkan sebagai bentuk atau elemen keberadaan di dunia yang berkelanjutan. Ia bukan suatu entitas di dunia, tetapi sebagai struktur dalam keberadaan yang memungkinkan terjadinya pengalaman pemahaman aktual pada level empirik. Pemahaman adalah basis bagi keseluruhan interpretasi; ia sama aslinya dengan keberadaan seseorang dan ia ada dalam setiap prilaku interpretasi.

DAFTAR PUSTAKA
Grondin, Jean. 2007.Sejarah Hermeneutik. Jogjakarta. AR-RUZZ MEDIA
www.rumah filsafat.html diakses pada 3 Januari 2011
Darianto's Blog » SUMBANGAN HEIDEGGER KEPADA HERMENEUTIKA DALAM BEING AND TIME.htm diakses pada 3 Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar