03 Februari 2011

FIQIH LINGKUNGAN dan PENANGGULANGAN BENCANA

Oleh: RIFQI K. ANAM

Kerusakan lingkungan hidup di mana-mana, sementara itu ancaman krisis lingkungan telah membuat prihatin semua pihak. Akhir-akhir ini angka kematian tinggi juga disebabkan oleh bencana-bencana lingkungan, selain karena kondisi kesehatan dan persoalan kelaparan. Rentetan kerusakan lingkungan terjadi dimana-mana dan kerusakan lingkungan berikutnya tinggal  menunggu di depan mata.
Kerusakan lingkungan yang paling nyata dan mulai ramai diguncingkan komunitas internasional yakni isu perubahan iklim yang menandai bencana global warming. Bukan bencana yang akan datang, tetapi sekarang sudah tampak jelas di depan mata. Glasier dan lapisan es antartika meleleh yang menyebabkan berkurangnya wilayah es di bumi. Tanggal 6 Maret 2008, bongkahan pada beting es Wilkins di Semenanjung Antartika barat daya mulai terlepas dan ambruk (Kompas, 27 Maret 2008). Kemudian, Es di Greenland yang terletak di antara Samudra Atlantik dan lautan Artik meleleh disebabkan peningkatan suhu terjadi dua kali lipat lebih banyak dari pada di belahan bumi lain. Jika sebelumnya daerah ini diliputi es, maka lambat laun akan betul-betul telanjang. Bongkahan-bongkahan es itu tidak akan mungkin kembali. Mencairnya es ini akan menyebabkan volume air di laut semakin meningkat. Hal paling nyata ancaman global warming yakni semakin naiknya permukaan laut (Koran Tempo, 17 Juli 2008)
Seperti diyakini para ahli bahwa perubahan iklim (climate change) menyebabkan banyak bencana, seperti: banjir, angin taufan, musim kemarau panjang, evaporasi air tawar, meluasnya kebakaran hutan, meledaknya penyakit hewan dan tanaman baru dan bencana-bencana lain.
Melihat dari istilah yang digunakan global warming merupakan bencana global, oleh karena itu tidak bisa dikategorikan sebagai bencana lokal maupun bencana nasional, tetapi yang pasti pihak yang akan menjadi korban dan paling banyak menderita akibat bencana ini adalah negara-negara berkembang dan masyarakat miskin di Asia, Afrika  dan Kepulauan Samudera Pasifik. Hal ini akan berakibat bahwa 75% sampai 80% biaya kerusakan akibat perubahan iklim harus dipikul negara-negara berkembang.
Bencana terjadi secara merata dan bertingkat-tingkat. Ia tidak mengenal teritorial dan struktur sosial. Ia terjadi baik bersifat global maupun lokal, desa maupun kota, kelompok yang berpenghasilan tinggi menengah dan bawah. Global warming terjadi dengan diikuti bencana-bencana lokal seperti: seperti: gempa bumi, banjir, tanah longsor, tsunami dan lain-lain.Bisa dipastikan bahwa kerusakan-kerusakan lingkungan tersebut akan menjadi “kekuatan pemusnah” kehidupan manusia di bumi. Maraknya bencana-bencana lingkungan tersebut menjadi pembunuh manusia nomor satu. Ia datang mendadak, kemudian membunuh puluhan bahkan ratusan manusia yang tidak berdosa.
Persoalan fundamental dari lingkungan sesungguhnya ditentukan beberapa karakter masyarakat yang mulai berubah, seperti dinyatakan Maftuchah Yusuf (2000) sebagai manusia bermental ”frontiers”.Mental manusia seperti di atas berinteraksi dengan watak-watak masyarakat modern, seperti : pandangan alam yang serba keberlimpahan, fanatisme terhadap teknologi, etika pertumbuhan, materialisme dan individualisme (Sunyoto Usman, 1998: 18).Hal inilah yang seperti dinyatakan Giddens dan Beck bahwa sesungguhnya persoalan lingkungan yang terjadi pada dunia global merupakan bagian dari masyarakat beresiko (the risk society). Semua kalangan menyatakan bahwa bencana lingkungan terjadi bukan karena takdir atau kehendak Tuhan semata atau konsekuensi ”berjalannya” hukum alam, sebab dominannya intervensi manusia sangat berperan besar menciptakan perubahan lingkungan ke arah degradasi tersebut.
Dengan ilmu pengetahuan teknologi, manusia melakukan perusakan lingkungan tidak secara individual, tetapi kolektif dan masif. Dengan kalimat lain, penjelasan tentang maraknya bencana bukan lagi produk manusia individu per individu, melainkan kolektivitas/kolektivisme di belahan dunia manapun. Semua penghuni bumi harus bertanggung jawab atas semakin rusaknya bumi dan tidak terawatnya kehidupan.
Pada konteks yang sama, bencana lingkungan hari ini juga bukan merupakan akibat perbuatan manusia sehari dua hari saja, tetapi melewati proses panjang pada rentang historis tertentu, yakni Revolusi Industri yang terjadi di Inggris tahun 1760-an. Pada pernyataan ini bisa ditambahkan bahwa negara-negara maju memiliki andil besar terjadinya bencana-bencana lingkungan hari ini.
Dari pemaparan di atas diperlukan gerakan nyata untuk menyelamatkan lingkungan dari kerusakan-kerusakan yang semakin parah. Lalu, siapakah pihak yang diharapkan mampu berperan pada upaya penyelamatan lingkungan itu? Mengingat begitu kompleksnya persoalan lingkungan yang terkait sangat erat dengan persoalan-persoalan lingkungan lain, seperti: ekonomi, sosial, bahkan kekuasaan.

AGAMA DALAM FIQIH LINGKUNGAN
Salah satu lembaga/institusi sosial yang diharapkan sumbangan nyatanya pada penyelamatan lingkungan adalah agama. Seiring dengan usia ummat manusia, pada masyarakat banyak ditemukan lembaga-lembaga sosial yang hidup bertahun-tahun.
Secara sosiologis, bersamaan lahirnya masyarakat, lembaga agama merupakan imperatif kategoris yang berfungsi utama memenuhi kebutuhan-kebutuhan penting masyarakat. Agama merupakan bagian dari fungsionalisme universal, sebab ditangannyalah mampu menjanjikan ketentraman, ketenangan, kejujuran dan kehidupan abadi bagi umat manusia setalah kehidupan di dunia ini. Janji-janji transedental ini yang memampukannya (enabling) untuk mengumpulkan banyak pengikut. Tidak heran jika, sebagai realitas sosial agama menghasilkan produk paling nyata, yakni : nilai-nilai, pengikut, struktur dan peradaban (Haryono, Yudhie, 2005).
Sementara itu dari isi teks, Ian G. Barbour menyatakan bahwa agama memiliki sumbangan penting pada upaya penyelematan lingkungan, Mengutip Gardner, Husain Haryanto menyatakan perlunya manusia modern merengkuh spiritualitas dan menghormati peran agama pada kehidupan sosial. Menurutnya, agama memiliki lima aset untuk menciptakan komunitas yang adil dan proses perubahan yang berkelanjutan, baik secara sosial maupun secara lingkungan, yaitu sebagai berikut :
a)    Kapasitas membentuk kosmologi (pandangan dunia) yang sejalan dengan visi ekologis.
b)    Otoritas moral
c)    Basis pengikut yang besar
d)    Sumber daya materi yang signifikan
e)    Kapasitas membangun komunitas.
Dari berkumpulnya sejumlah sumber daya (resources) di atas, agama yang sesungguhnya diharap banyak berperan pada upaya penyelamatan lingkungan, sayangnya, selama ini belum banyak memberikan sumbangan. Justru peran-peran ini banyak dimainkan CSO (Civil Society Organization) yang berideologi hijau. Sekalipun untuk gerakan sosial, agama efektif sebagai “dasar-dasar ideologis”  kelompok-kelompok kepentingan (interest groups), tetapi CSO yang berlabelkan agama juga tidak banyak.
Agama dikaji sebagai isu-isu normatif dan etik yang seringkali apologetik, bukan sebagai ideologi praksis yang mampu menggerakan perubahan sosial. Jika demikian halnya, bisa dikatakan sama halnya tidak merekonstruksi Islam sebagai gagasan, tetapi hanya melakukan repetisi ajaran tentang kebaikan yang tidak usah dipertanyakan (taken for granted assumption). Tidak banyak panduan-panduan penyelamatan lingkungan yang berbasis nilai-nilai agama.
Peluang untuk meningkatkan keterlibatan agama untuk penyelamatan lingkungan masih terbuka lebar. Maraknya paradigma gerakan sosial baru (new social movement) yang tidak lagi membuat sekat-sekat antarisu gerakan. Aktivis yang masuk pada gerakan juga tidak harus mereka yang memiliki ideologi tertentu, tetapi kesamaan tujuan bisa menyatukan kepentingan pragmatis masing-masing. Hal ini berarti  isu ekologis bisa melakukan interkoneksitas dengan isu-isu lain, baik isu gender, etnis, ras, feminisme, ras dan lain-lain.Kelenturan gerakan lingkungan semacam ini juga tidak terjebak pada isu-isu sektarian yang terkotak atas nama agama. Semua kelompok bisa dimobilisir untuk upaya-upaya penyelamatan lingkungan.


Referensi

Yusuf, Maftuchah, 2000, Pendidikan Kependudukan dan Etika Lingkungan, Lembaga Studi dan Inovasi Pendidikan, Yogyakarta
Chapman, Audrey R. dkk, 2007, Bumi yang Terdesak; Perspektif Ilmu dan Agama mengenai Konsumsi, Populasi dan Keberlanjutan, Mizan bekerja sama Center for Religius and Cross  Cultural Studies Graduate Program, Gadjah Mada University,
Usman, Sunyoto, 1998, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Pustaka Pelajar: Jogjakarta
Yudhie, Haryono, 2005, Melawan dengan Teks, Resist Book: Jogjakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar