04 Februari 2011

DOMINASI MODAL ATAS RUANG PUBLIK

OLEH : RIFQI K. ANAM
Awalnya ruang publik sebagai bentuk demokrasi dari perkembangan masyarakat barat untuk menuju perubahan structural dalam dunia public yang secara historis terbentuk pada abad ke-18, lewat perkembangan masyarakat borjuis. Peran raja dan kaum ningrat pada abad pertengahan mendapat tekanan dari banyak pihak untuk menyelenggarakan sebuah ruang untuk saling membarikan informasi berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Dalam perkembangannya ada orang yang memiliki kekuasaan atau kedudukan yang mulai mempengaruhi kebebasan publik untuk menyampaikan informasi kepada pihak lain.
Konsep ruang public muncul dalam karya ”The Structural Transformation of the Public Sphere” oleh Jurgan Habermas. Habermas menuliskan subtansinya bahwa ruang publik merupakan media untuk mengomunikasikan informasi dan juga pandangan. Sebagaimana yang tergambarkan di Inggris dan Prancis, masyarakat bertemu, ngobrol, berdiskusi tentang buku baru yang terbit atau karya seni yang baru diciptakan. Dalam keadaan masyarakat bertemu dan berdebat akan sesuatu secara kritis maka akan terbentuk apa yang disebut dengan masyarakat madani. Secara sederhana masyarakat berkeadaban bisa dipahami sebagai masyarakat yang berbagi minat, tujuan, dan nilai tanpa paksaan—yang dalam teori dipertentangkan dengan konsep negara yang bersifat memaksa.
Pada perkembangan selanjutnya ruang publik juga menyangkut ruang yang tidak saja bersifat fisik, seperti lapangan, warung-warung kopi dan salon, tetapi juga ruang di mana proses komunikasi bisa berlangsung. Misal dari ruang publik yang tidak bersifat fisik ini adalah media massa. Habermas juga sangat menekankan peran kritis dari media didalam ruang publik. Ia membedakan antara media dimasa-masa awal yang memusatkan diri pada berbagai isu kontroversi dan debat politik rasional, dan media dewasa ini yang seringkali menjadikan berita sebagai barang dagangan saja. Kontroversi semakin berkurang didalam media dewasa ini. Media tidak lagi mengambil posisi dan berargumentasi atas posisinya, melainkan menghindar, karena menurut mereka, semakin mereka mengambil jarak, semakin berita itu akan mengandung kebenaran.
 Ruang publik yang dicita-citakan oleh habermas mungkin belum terwujud, bisa kita lihat media yang ada sekarang, jangankan menjadi sarana ruang publik yang komprehensif malahan media melakukan proses reifikasi terhadap berita-berita yang mereka tayangkan, yakni menjadikan media sebagai ruang iklan, dimana politisi dapat menjual ide-ide mereka untuk dibeli oleh rakyat. Dominasi modal dalam ruang publik terasa ketika masa kampanye dalam pemilihan umum dimana politisi yang mempunyai sokongan modal besar akan dapat membeli media sedangkan politisi jujur tapi “miskin” hanya menjadi figuran. Konsekuensinya, politisi jujur yang tidak sering tampil di media serta secara aktif “menjual” ide-idenya di televisi akan cepat kehilangan pamornya, seberapapun jenius ide-ide yang dikembangkannya. Politisi yang tidak bisa menjadi selebriti media akan mendapatkan nasib yang sama. Dengan demikian, berbagai debat publik di televisi ataupun di koran tidak akan membawa pada perubahan karena yang ditawarkan hanyalah seolah-olah ruang public sehingga menciptakan ilusi koleksif dari partisipasi kritis public yang akhirannya partisipasi tanpa perubahan.  


Daftar Pustaka
Hardiman, Francisco Budi,. 2009. Menuju Mayarakat Komunikatif, ilmu, masyarakat, politik dan postmodernismo menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta. Kanisus.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar